• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Wirga Wirgunatha

Carpe Diem


Kamu merasa sedih saat menyadari kamu tidak bisa mempertahankan teman-teman lamamu. Bukan karena waktu atau pekerjaan, melainkan karena kalian sudah berbeda pemikiran dan tujuan lagi.

Kamu merasa sedih karena tidak lagi bisa dengan mudah mencari temanmu, menceritakan semua keluh kesah dalam hidupmu. Cerita diantara kalian sudah terlalu banyak lubang, bingung harus mulai dari mana, canggung tak tahu harus berkata apa.

Kamu merasa sedih saat temanmu tidak bisa hanya sekadar diajak bercanda atau menghabiskan waktu dengan sekadar duduk mengobrol. Temanmu sudah terlalu sibuk dengan kehidupan dewasanya yang serius, berkutat dengan handphone di tangan atau urusan lain yang tak bisa ditinggalkan. Tak ada waktu untuk bermain katanya.

Kamu bertambah sedih saat banyak kejadian buruk menimpamu. Tidak ada lagi teman untuk berbagi kesedihan, untuk menuangkan semua kekesalan, tidak ada pundak teman untuk bersandar, atau uluran tangan untuk menghapus air mata. Kamu bahkan sedih disaat banyak kejadian baik dalam hidupmu. Karena tak ada lagi teman untuk berbagi kebahagiaan, untuk kamu ceritakan semua pencapaian dan kisah hebatmu. Sedih dan bahagia terasa sama muramnya bagimu saat tak ada teman disisimu.

Lalu tiba saat kau menyalahkan waktu. Atas kekejamannya menjauhkan temanmu dari hidupmu. Dia merubah temanmu menjadi orang yang tak kamu kenal lagi, yang tak lagi ramah, ceria, peduli, tulus dan kamu sayangi seperti dulu. Ingin rasaya kamu mengembalikan waktu ke masa dulu, saat yang ada hanya kamu dan temanmu itu.

Pernah satu waktu kamu mencoba berkumpul kembali dengan teman-teman lamamu, mencoba mengulang cerita lama walau dengan ingatan yang tersisa. Semua kenangan indah masa lalu, kejahilan dimasa remaja, tidur bermain bersama, bertengkar walau akhirnya baikan kembali, dan merasa kalian adalah teman selamanya. Namun ajang kumpul kembali tidaklah lebih dari sekadar basa-basi. Hanya bertanya kabar sekadar tanpa perlu menyelam sampai ke dasar. Semua terasa hambar. Temanmu lebih peduli pada hidupnya sendiri, pada dunianya sendiri. Berulang kali kamu mencoba tunjukkan kepedulian, mencoba tulus memperhatikan, namun itu hanya semakin meninggikan temanmu, dia sudah tak benar-benar peduli padamu.

Pada akhirnya, kamu hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Tanganmu tak mampu menggapai pundaknya yang semakin menjauh. Temanmu semakin hilang begitu pula dengan semua kenangan tentang kalian. Namun dalam hati kamu selalu berharap, agar temanmu selalu baik-baik saja dan berbahagia. Setiap saat kamu akan datang saat temanmu membutuhkanmu. Karena kamu tak akan pernah mengecewakan seorang teman.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Betapa menyedihkannya kita
Terombang ambing di kapal dunia
Berhembus bersama layar kehidupan
Tak tahu entah kemana

Bukannya aku tak rindu
Tapi hati ini tlah beku
Bukannya aku tak sayang
Tapi cintaku tlah terbuang

Apakah kau percaya takdir cintaku?
Kita bertemu mengenal bersatu
Melintasi ruang dan waktu
Hingga hanya tersisa debu

Kisah ku tulis di atas kertas
Dua raga tanpa pembatas
Dua insan manusia
Menjalin kasih di dunia


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Aku menikmati saat mengendarai kendaraan di jalanan, merenung tentang hal-hal yang ada di kehidupan. Berjalan pelan meresapi setiap pengalaman yang datang. Melihat orang-orang di sekitar dengan berbagai aktifitasnya masing-masing. Juga memandang alam sekitar, perumahan, sawah, gedung perkantoran, toko, gunung di kejauhan, apapun itu. Sambil terus memandang ke depan menuju tujuan hari ini.

Aku sering menyamakan saat berkendara di jalanan dengan bagaimana kita menjalani kehidupan. Jalan terdiri atas tanjakan, turunan, mendatar, belokan kanan kiri yang banyak hal yang kita temui di jalan, seperti halnya yang ada di kehidupan. terkadang tajam, jalanan rusak, mulus, macet, lancar, dan lainnya. Begitu semua lancar, atau bisa jadi sebaliknya. Kehidupan tidak pernah selalu mulus Terkadang kita harus melewati masalah yang sulit, terkadang mudah, terkadang atau tidak pernah selalu buruk, tidak pernah selalu bahagia atau selalu menyedihkan, seperti jalanan terkadang kita bisa di atas dan juga di bawah.


Di jalanan kita harus menaati peraturan dan tidak bisa berperilaku semaunya, ngebut atau mengambil haluan orang lain, karena nanti akan celaka. Begitu juga di kehidupan, kita sampai yang kita lakukan malah merugikan orang lain. Karena setiap orang punya mesti berjalan di jalur seharusnya, mengikuti setiap norma yang ada dan jangan jalurnya masing-masing.


Banyak hal lain lagi yang bisa dihubungkan antara berkendara di jalanan dan kehidupan. Seperti terkadang di jalan kita akan menemui lampu lalu lintas yang mengharuskan kita berhenti sejenak sebelum berjalan kembali. Seperti halnya dalam hidup, ada banyak tentang perjalanan yang akan kita lalui, tentang hal-hal yang belum sempat kondisi yang mengharuskan kita diam sejenak, gunakan ini untuk merenungkan lagi kembali. Seperti halnya diri kita, mesti mendapat asupan secara berkala, baik terpikirkan sebelumnya. Atau kita juga harus ingat untuk mengisi bensin atau merawat secara berkala kendaraan kita agar bisa digunakan secara maksimal apa yang ada di dalam diri. pengetahuan, fisik, hati dan jiwa. Jangan hanya terus berjalan tanpa sempat memperbaiki.


Dan yang utama, saat berjalan kita tentunya memiliki tujuan, alamat yang ingin kita capai. Begitu pula dengan hidup, apa tujuan hidup kita? Apa yang ingin kita capai? Jangan sampai kita hanya berkeliling tidak jelas di jalanan tanpa tujuan yang pasti, hingga tidak terasa kendaraan kita sudah tak bisa digunakan lagi. Dan sebelum kita sempat menyadarinya, waktu kita ternyata sudah habis.



Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“Ada semacam kebangkitan dalam kesadaran, yang berlangsung secara perlahan. Tidak bersifat agamawi, melainkan spiritual. Kita tengah menemukan sesuatu yang baru tentang kehidupan manusia di planet ini, tentang makna eksistensi kita. Dan pengetahuan ini akan mengubah hakikat manusia secara dramatis.”

Saat membaca “The Celestine Prophecy” karya James Redfield ini, aku langsung dibawa pada sebuah perenungan yang mendalam. Pada sebuah ajaran universal yang apabila diresapi lebih dalam seharusnya dapat diterima oleh semua orang untuk membawa kebahagiaan dunia. Buku ini tentu saja dapat mengajarkan banyak pelajaran dan prinsip mengenai keadaan spiritualitas di era teknologi, serta komunitas manusia pada umumnya.

Novel ini menceritakan tentang sembilan manuskrip kuno yang ditemukan di pedalaman hutan dan pegunungan Peru, yang berisi sembilan wawasan rahasia yang dapat menuntun umat manusia ke arah kehidupan spiritual yang lebih tinggi, serta menciptakan transformasi besar saat manusia telah mencapai tingkatan tersebut.

Di cerita ini disampaikan bahwa pemerintah Peru ingin memusnahkan seluruh salinan manuskrip ini dengan dukungan pihak gereja pimpinan Kardinal Sebastian. Namun salah seorang pastor berhasil menyebarkan salinan manuskrip itu, di antaranya kepada Charlene, seorang peneliti dari Amerika. Ketika kembali ke negaranya, Charlene menceritakan pengalamannya kepada seorang teman lama. Pria ini tertarik untuk berangkat ke Peru dan di sana ia terlibat dalam petualangan menyelamatkan delapan wawasan yang sudah ditemukan sekaligus mencari wawasan yang ke sembilan.

Dari berbagai peristiwa, pria ini mempelajari satu demi satu wawasan sampai akhirnya ia tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Dalam tahanan, seorang pastormemberitahukan bahwa pemerintah Peru berhasil menghancurkan manuskrip itu. Itu berarti setiap orang yang pernah mempelajarinya harus mengingat isinya baik-baik dan menyampaikan pesannya pada orang-orang yang mau mendengar. Kisah ini ditutup dengan pria tersebut dibebaskan dan dikembalikan ke negaranya, dan mungkin tugasnya untuk juga mencari wawasan selanjutnya yaitu wawasan ke sepuluh.

Pada intinya, novel ini bertumpu pada premis bahwa masyarakat kita saat ini sedang mengalami perubahan besar-besaran mengenai keadaan spiritualitas dalam budaya kita. Dalam arti tertentu, ini benar, banyak individu dalam budaya barat sebenarnya menyerahkan sistem kepercayaan yang dikenal sebagai agama-agama Ibrahim, kepada kepercayaan Timur seperti Taoisme atau Buddhisme. Pemberontakan intelektual terhadap sistem kepercayaan tradisional ini telah menghasilkan banyak individu yang merangkul sistem pemikiran pseudo-filosofis dan spiritual yang baru. Namun, novel ini tidak bertumpu pada sistem kepercayaan apa pun yang telah dibuat. Alih-alih, dalam buku ini, James Redfield berupaya menciptakan aliran pemikiran spiritual baru, dengan gagasan dan ajarannya sendiri. Aliran pemikiran baru ini diilhami oleh aliran spiritualitas timur, namun sama sekali berbeda.

Pada catatan lain, tema yang dieksplorasi dalam novel ini adalah untuk kembali ke bentuk spiritualitas yang lebih tua. Ini dinyatakan dalam sembilan wawasan sebagai umat manusia harus berkembang ke akar spiritual, di mana Bumi, dan semua bentuk kehidupan dipandang sebagai energik dan sakral. Tema sentral yang dieksplorasi dalam novel ini tentang menyerahkan diri pada tatanan karma alam semesta. Hal ini secara material dapat diartikan sebagai pemisahan diri seseorang dari bentuk hierarki dan kekuasaan, dimana manusia hanyalah satu bagian kecil dari semesta dan bukannya sebagai penguasanya.

Sebagai kesimpulan, The Celestine Prophecy adalah sebuah novel yang mengadvokasi perubahan drastis dalam keseluruhan umat manusia. Hal ini melibatkan pada kembalinya kita ke bentuk awal pencerahan spiritual, seperti yang dilakukan oleh leluhur kita. Hanya di era ini kita terhubung secara spiritual dengan tatanan kosmik alam semesta. Di era modern, kita harus berusaha menghilangkan setiap penghalang yang memisahkan kita dari tatanan ini, termasuk peradaban dan humanisme itu sendiri.



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

"And once the storm is over,you won't remember how you made it through, how you managed to survive. You won't even be sure whether the storm is really over. But one thing is certain,when you come out of the storm, you won't be the same person who walked in. That's what this storm's all about.” ~ Haruki Murakami

Pernahkah kau mengalami saat yang buruk dalam hidupmu? Satu pengalaman yang membawamu pada kesedihan yang dalam, marah, kecewa, cemas, dan kau merasa tidak mampu lagi melanjutkan hidupmu. Satu hari yang selalu kau ingat dalam ingatan, hinga tanpa kau sadari hari itu telah berlalu, dan kau ternyata mampu melewati itu semua hingga hari ini.

Setiap orang punya hari itu, saat kita benar-benar merasa jatuh begitu dalam dan membutuhkan uluran tangan orang lain untuk bangkit kembali. Sementara bagiku, saat itu ialah pada pertengahan bulan Juni 2018, hari disaat aku menabrak seorang ibu bersama anaknya yang masih bayi itu.

Disaat aku sedang belajar untuk menyelamatkan hidup orang lain, hampir saja aku malah membunuh satu nyawa orang. Sampai hari ini, setiap potongan kejadian pagi itu masih terus melekat dalam ingatanku. Di pagi yang tergesa-gesa, aku membonceng temanku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi karena sudah kesiangan menuju tempat pertemuan. Ngebut yang berakhir maut, di sebuh jalanan lurus seorang ibu mengendarai motor tiba-tiba menyebrang dari arah kiriku. Belum sempat aku menghindar sehingga kedua motor saling beradu, menyisakan puing-puing kendaraan dan penyesalan.

Aku panik, takut, kesakitan, mencoba bangkit walau ku lihat sekitar mulai gelap. Pertama aku cari teman yang ku bonceng, syukurlah dia baik-baik saja. Lalu ku dengar suara ibu memanggil nama anaknya, “Anakku, anakku”. Dada ku berdebar kencang, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu. Pikiranku sudah melayang entah kemana, namun dengan sisa harapan aku bantu memindahkan anaknya yang mulai tidak sadarkan diri ke pinggir jalan, bingung dengan apa yang harus ku lakukan. Sementara orang-orang mulai berdatangan dan kendaraan di jalan berkerumun memperhatikan apa yang terjadi.

Di saat-saat memilukan, tiba-tiba muncul seorang ibu menaiki motor entah dari mana datangnya. Dia langsung menawarkan bantuan akan mengantar anak itu ke Rumah sakit terdekat. Tanpa berpikir panjang aku langsung mengangkat adik tersebut, walau dengan tanganku yang nyeri susah digerakkan dan menggendongnya di pelukanku. Anak itu berumur sekitar tiga tahun, bola matanya hitam, wajahnya manis polos tanpa dosa seperti anak kecil pada umumnya. Namun yang membuatku tambah takut, di jalan dia cuma diam saja, bernafas susah. Aku mencoba mengajak dia mengobrol dan menguatkannya sambil terus berdoa. Lama setelah itu aku menyadari, ada bantuan Tuhan dalam pagiku yang kelam ini.

Beberapa menit kemudian kami tiba di rumah sakit,dan dokter yang mengenaliku langsung membantu merawat adik kecil yang aku bawa. Yang ku harapkan pada waktu itu hanyalah kesembuhan anak tersebut. Aku bingung, panik, orang tua anak itu juga sudah tiba di rumah sakit dan aku mencoba menenangkan dan meminta maaf kepada meraka.

Pada waktu itu, aku hanya bisa berharap kepada yang di Atas. Dan beliau mengirimkan orang-orang yang sayang padaku. Aku ditemani oleh dua orang sahabatku, kami tidak jadi mengikuti pertemuan tersebut. Mereka menemaniku melewati hari ini, menenangkanku. Aku menelpon ibuku dan beliau berkata, “Tenang saja ya, semuanya akan baik-baik saja”

Akhirnya di saat-saat terberat, tempat kita kembali adalah pada pelukan ibu. Tempat semua penyesalan dan rasa bersalah lebur menjadi benih-benih harapan.

Hari berjalan begitu pelan, pengalaman di jalan tadi masih begitu jelas ku rasakan. Jalan menyimpan banyak cerita, tentang suka dan duka. Namun syukurlah semuanya sudah berlalu, syukur adik itu baik-baik saja pada akhirnya walau harus dirawat selama satu hari di rumah sakit. Begitu juga aku harus berurusan dengan kepolisian dibantu oleh bapakku. Bapak yang selalu memberiku kekuatan untuk melewati masa-masa sulit.

Semenjak kejadian itu aku tidak berani ngebut di jalan. Bukan karena untuk keselamatan diriku semata, melainkan ada banyak nyawa di jalanan ini. Setelah ini, aku bertekad untuk belajar lebih keras untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kali ini aku tak ingin menyalahkan era media sosial yang membuat orang memandang dirinya rendah, merasa hidupnya tak berarti sementara orang lain diliputi oleh kesuksesan, kebahagiaan dan dikelilingi banyak teman. Tapi ya begitulah juga. Aku hanya merasa, belum cukup baik menjalani kehidupan.
Apa yang ku cari?
Apa yang ingin ku capai? Siapa aku?
Tolak ukur kebahagiaan manusia pada era ini yaitu:
Mereka yang bisa merasakan banyak pengalaman: mengunjungi banyak tempat, ikut banyak kegiatan, punya banyak hobi.
Mereka yang dikelilingi banyak teman atau selalu bersama pasangan.
Mereka yang setiap hari ada di media sosial.
Lalu bagaimana dengan orang yang lebih memilih menepi sendiri? Tidakkah mereka layak untuk bahagia?
Oh ya aku lupa, adalah kebutuhan dasar manusia untuk diakui oleh orang lain, dianggap ada di dunia ini. Maka tak salah jika ia berlomba-lomba menunjukkan eksistensi pada dunia. Menunjukkan diri mereka dengan penuh kebahagiaan. Hanya untuk mendapat pengakuan.
Apa artinya pertemanan yang luas namun dangkal?
Apa artinya pengalaman yang banyak namun semu?
Apa artinya terlihat bahagia namun menderita di dalam?
Apa artinya hidup tanpa makna?
Aku banyak tak setuju tentang hal, bukan semata-mata karena aku tak menyukainya, melainkan karena aku tak bisa mencapainya. Ah ironis sekali.
Aku benci temanku yang sering ke luar negeri.
Aku benci temanku yang pintar fotografi.
Aku benci temanku yang jago main musik.
Aku benci temanku yang sering kumpul bersama teman.
Aku benci temanku yang bebas ekspresikan kata di media sosial.
Aku benci temanku yang statusnya jadi trending topic.
Aku benci temanku yang baca banyak buku.
Aku benci temanku yang ikut banyak kegiatan.
Dan lain-lainnya.
Sementara aku hanya jadi penonton. Membenci setiap kesuksesan mereka, padahal mereka temanku. Aku munafik sekali. Sebenarnya aku lah orang jahat itu, yang terus mengagungkan kebaikan hatiku, kesederhanaan jiwaku. Aku tak bisa mencapai itu semua makanya aku membenci mereka.
Lalu, sekarang bagaimana?
Apa jawaban dari setiap pertanyaanku? Setiap pergulatan batinku?
Why to live?
Salah satu kebahagiaan ialah saat kita terhubung dengan orang lain. Dulu rasanya aku merasa lebih hidup saat aku sibuk dengan banyak aktifitas, bertemu dan bercengkrama dengan banyak orang. Sementara sekarang aku lebih sibuk dengan diri sendiri, membangun diri. Manakah yang lebih baik? Yang lebih abadi?
Mungkin ada baiknya aku lebih banyak belajar tentang kehidupan dengan bertemu orang lain, berbagi cerita, berbagi kehidupan. Dan semoga jawaban akan berada seiring dengan perjalanan.

19/10/2018
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Maafkan aku
Tapi dia memaksa masuk ke dalam hatiku
Ampuni aku
Yang tak bisa membendung rasa itu

Aku rindu sekali

Rindu merasa bagaimana dicintai
Aku ingin sekali
Ingin ada yang memegang tanganku lagi

Perlahan tentangmu mulai meredup
Tergantikan oleh bayang wanita lain
Wajahmu kini terlihat remang
Tergantikan oleh senyumnya yang juga menawan

Namun aku belum mau menghapusmu dari ingatku
Melupakan semua kenangan tentang kita
Aku belum mau menganggapmu asing
Dan tak ada lagi rasa dalam sapa

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sejak dulu kita percaya bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang kuat "Mens sana in corpore sano", sehingga kita diminta untuk menjaga kesehatan tubuh baik dengan olahraga teratur atau mengkonsumsi makanan yang sehat. Namun belakangan ini aku sering berpikir sebaliknya, di dalam pikiran yang sehat mungkin terdapat tubuh yang kuat. Karena mungkin saja kondisi tubuh yang tidak sehat atau penyakit fisik yang kita alami sekarang ini disebabkan juga oleh apa yang ada di pikiran kita.

Pada kehidupan sekarang, permasalahan datang dengan silih berganti baik di bidang ekonomi, pekerjaan, keluarga, sosial, dan aspek kehidupan lainnya. Apabila tidak mampu mengatasinya dengan baik dapat muncul kondisi pikiran yang tidak stabil seperti depresi, cemas, panik dan lain sebagainya. Dan hal ini apabila terjadi secara berkepanjangan aku pikir bisa memberikan dampak yang serius pada tubuh kita.

Misalkan seorang nenek yang tinggal seorang diri merasa sering sakit-sakitan mungkin saja bukan karena kondisi tubuh yang melemah melainkan karena kesedihan yang ia alami setelah ditinggalkan sendiri oleh anak-anaknya. Atau seorang anak yang daya tahan tubuhnya buruk dan mudah terserang sakit mungkin karena dia sering merasa cemas setelah setiap kali bersekolah dia dirundung oleh teman-temannya. Dan banyak lagi contoh lainnya yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin sumbernya ada di pikiran kita. Pikiran yang positif tidak hanya berpengaruh terhadap lingkungan kita namun mungkin saja juga berpengaruh terhadap apa yang ada di dalam diri kita.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh David R. Hamilton PhD, seorang ahli di bidang kimia, dimana dia menyampaikan bahwa banyak bukti yang menunjukkan pikiran berdampak pada tubuh. Pikiran kita memengaruhi tubuh kita saat ini, selama 24 jam sehari, 365 hari setahun. Seringkali kita hanya tidak memperhatikan.

Misalkan saat kita memikirkan seseorang yang menyebabkan kita stres maka kita akan menghasilkan zat kimia stres di otak dan juga meningkatkan kadar kortisol dan adrenalin dalam aliran darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke otot-otot utama kita. Jika kita terus berpikir seperti ini secara konsisten, maka ada kemungkinan kita menghasilkan lebih banyak radikal bebas dan zat kimia yang menyebabkan inflamasi dalam aliran darah.

Atau saat kita sedang memikirkan seseorang yang kita cintai dan sayangi, maka kita akan menghasilkan zat kimia cinta di otak kita, yang melibatkan hormon dopamin, serotonin, morfin dan heroin natural di otak, yang dikenal sebagai opioid endogen, dan hormon cinta, oksitosin. Oksitosin juga akan diproduksi di seluruh tubuh dan dengan cepat melebarkan arteri serta menurunkan tekanan darah kita. Hormon ini disebut juga hormon 'pelindung jantung'. Hormon ini juga berperan penting dalam proses persalinan. Dengan berpikir positif secara konsisten, kadar oksitosin yang meningkat akan menetralisir radikal bebas dan inflamasi pada pembuluh darah kita.

Jadi  agar kita pahami bahwa kesehatan kita ini semua berhubungan dengan hal-hal yang ada di pikiran kita. Pikiran kita bukanlah sekadar instrumen impoten yang hanya menginterpretasikan dunia, tempat pikiran kita, niat, harapan, dan impian saja. Kita dapat menganggap pikiran kita sebagai kekuatan, karena itu benar-benar membawa efek ke seluruh tubuh kita.

Demikianlah ternyata sesuai dengan apapun yang ada di pikiran kita mampu mempengaruhi kesehatan fisik kita. Jadi dengan berpikir atau memiliki jiwa yang positif mampu menghindari kita dari berbagai penyakit di kemudian hari pula.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Beberapa tahun yang lalu aku pernah menulis seperti ini, “Aku penasaran bagaimana hidup di zaman dulu, bersosial, berkomunikasi - sebelum media sosial, sebelum internet - dimana orang-orang masih menggunakan surat, yang berhari-hari bahkan tahun. Orang-orang menjalani kehidupan nyata, tidak maya. Orang-orang masih peduli dengan lingkungan, secara fisik. Emosi, perasaan sangat terasa, kata rindu begitu tulus, dalam; dimana perlu usaha, perjuangan akan sesuatunya dan dimana nilai kemanusiaan masih ada.” Begitu pula tahun lalu aku masih menulis tentang hal yang sama, “Aku penasaran, apa sih yang dilakukan oleh orang-orang untuk membunuh waktu - misalnya pas nunggu jemputan, nunggu pesanan makanan, nunggu guru pas pelajaran, dll - sebelum adanya smartphone di tangan?”

Kita sadari atau tidak, apa yang kita lakukan hari ini jauh berbeda dengan kehidupan bertahun-tahun sebelumnya. Dengan adanya perangkat canggih di tangan kita yang mampu melakukan apapun, kita seperti tidak menghiraukan apa yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak membiarkan pikiran atau badan untuk sekadar rileks, cukup untuk tidak memikirkan atau melakukan apa-apa. Kita tak membiarkan pikiran kosong, apalagi untuk mendengarkan suara dari dalam diri. Kita lebih memilih untuk menyibukkan diri melihat berbagai hal yang ada di tangan kita tersebut. Begitu juga, interaksi kita dengan orang di sekitar pun menjadi berkurang. Hal itu mungkin akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengenal atau mendengar sebuah kisah yang mengesankan dari orang lain. Atau kita kehilangan momen untuk menikmati apa yang ada di sekitar kita, alam, udara, suara burung, atau yang lainnya.

Media sosial kita ketahui menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia saat ini. Ia digunakan sebagai tanda eksistensi, bahwa kita ada di dunia ini, dan itu yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Setiap orang membagikan dan menunjukkan dirinya di dunia maya, dan seolah belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Aku mengenal seorang teman yang terlihat sangat bahagia di media sosial namun menyimpan permasalahan yang begitu berat di kehidupannya. Begitu pula dengan orang yang tak pernah aktif di dunia maya belum tentu memiliki hidup yang buruk, social media is not the measure of happiness.

Seringkali kita menenggelamkan diri berjam-jam dalam sesuatu yang ada di tangan kita untuk mencari sesuatu yang membahagiakan. Melihat status orang lain, berkomentar, menunjukkan diri, atau mencari apapun. Tak peduli dimanapun tempatnya, asalkan bisa membuat kita nyaman. Kita menghindari berinteraksi dengan orang lain, menghindari perasaan kesepian. Ada yang bilang smartphone itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat namun itu balik lagi ke pemakainya masing-masing, bagaimana kita menggunakannya dan untuk keperluan apa.

Kembali lagi ke topik awal, “Aku penasaran bagaimana rasanya dulu saat sebelum sekarang ini?”. Saat kita benar-benar hidup saat ini, lebih sering mendengarkan orang lain dan tidak lupa juga mendengarkan suara dari dalam diri sendiri. Saat ketulusan, kejujuran masih ada dan rasa kemanusiaan berada di atasnya. Jangan sampai ke depannya, kita “nyata di dunia maya dan maya di dunia nyata”.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Saya Wirga Wirgunatha, hanya seorang manusia yang ingin membagikan pemikiran melalui sebuah tulisan. Memiliki ketertarikan terhadap alam dan kehidupan.

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Blog Archive

  • September 2019 (2)
  • Agustus 2019 (9)
  • Mei 2019 (4)
  • April 2019 (15)
  • Maret 2019 (28)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • November 2018 (6)
  • Agustus 2018 (1)
  • Juli 2018 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (4)
  • Oktober 2016 (2)
  • September 2016 (1)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (5)
  • Januari 2016 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Label Cloud

  • Artikel
  • Buku
  • Cerpen
  • Coretan
  • Puisi

Popular Posts

  • Cinta dan Sampah Plastik
    Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk ...
  • Puisi - Aku Mencari
    Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata Cerita sebagai pelipur derita Pada kutipan Pada sajak Pada pusi Namun tak juga ku...
  • Dengarkanlah - Reza A.A. Wattimena
    Secangkir teh. Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sop...
  • Cerpen - Siklus Waktu
    Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, ...
  • Pria Bali
    Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia...

Quotes

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates