Cerpen - Siklus Waktu
Aku adalah anak perempuan semata
wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih
sayang. Waktu berlalu, aku menikah dan tinggal bersama suamiku meninggalkan
bapak ibu berdua dirumah. Mereka selalu mengunjungiku tiap akhir pekan, ikut
membantuku merawat kedua anakku hingga sebesar sekarang. Aku dan suamiku dari dulu
sibuk bekerja sampai malam hingga kewalahan mengurus keluarga, namun kedua
orang tuaku selalu datang membantu.
Beberapa tahun terakhir kedua
orang tuaku jarang mengunjungiku. Aku juga jarang bertemu mereka karena kesibukan
di tempat kerja. Hal itu membuatku tidak mengetahui bahwa ibuku memiliki sakit
Hipertensi sejak lama. Hingga akhirnya sebulan yang lalu ibuku terkena stroke. Nyawanya
hampir tak terselamatkan karena terlambat ditangani. Setelah beberapa hari di
rumah sakit ibu diizinkan pulang namun kondisinya buruk sekali. Ibu mengalami
kelumpuhan total setengah badannya serta mengalami penurunan fungsi otak.
“Siapa kamu nak?”, begitu tanya
ibu satu hari saat melihatku.
“Ini saya Nita bu, anakmu”,
hatiku teriris menyadari ibu tak lagi mengenaliku.
Aku teringat pernyataan dokter
tentang perdarahan di otak ibu yang sangat luas sehingga ada beberapa fungsi
otaknya terganggu. Sementara itu sejak mengetahui kondisi ibu, bapakku seperti
kehilangan semangat hidupnya. Ia hanya diam terus memandang ibu, ada kesedihan
yang dalam di matanya. Semenjak itu bapak tak banyak bicara, tak mau makan,
bahkan tak mau beranjak dari sisi ibu. Gangguan depresi berat kata dokter.
Awalnya aku mengajak bapak ibu
tinggal di rumah suamiku, tapi satu hari saja disana bapak sudah mengamuk ingin
pulang. Dia ingin tinggal di rumahnya bersama ibu. Aku pasrah. Aku terpaksa
mengikuti keinginan bapak. Aku juga mencarikan pembantu untuk mengurus bapak
ibu, tapi percuma. Bapak memarahi pembantu itu hingga mengundurkan diri.
Semenjak itu akhirnya aku
berhenti dari kerja dan memutuskan untuk merawat bapak ibu. Pagi siang malam
aku menemani bapak ibu di rumah – rumah saat ku kecil dulu. Aku membantu membersihkan
badan mereka, memberikan makan, juga mencarikan apapun yang diinginkan.
Semuanya terasa sangat berat. Aku
harus mengurus banyak hal. Belum lagi saat setiap aku menghampiri, ibu sama
sekali tidak mengenalku. Sementara bapak, hanya melihatku dengan tatapan
kosong. Ada rasa sedih dan kesal dalam hatiku, kenapa ini semua terjadi dan apa
yang harus ku lakukan.
Lama-kelamaan aku semakin
emosional. Ibu dan bapakku menjadi bertingkah kekanak-kanakan. Ibu menolak semua
jenis makanan yang kuberikan, merengek minta sesuatu. Sementara bapak,
tiba-tiba buang air sembarangan dan merusak barang-barang di kamar. Semua ini
membuatku frustasi.
Hari ini sebulan sudah ibu dan
bapakku dengan kondisi seperti ini. Aku merasa sudah tak kuat lagi dan rasanya
ingin menyerah saja. Aku menghempaskan tubuhku di kamar. Aku teringat inilah
kamarku saat kecil dulu hingga akhirnya ikut ke rumah suamiku. Tak banyak hal
berubah dari kamar ini, barang-barangnya semua utuh seperti saat ditinggalkan.
Kamar ini juga bersih karena ibu bapak terus merapikannya, katanya supaya aku
bisa tidur disini kalau suatu saat tiba-tiba mampir ke rumah.
Aku lihat banyak foto-foto
kenangan terpajang di dinding. Foto-fotoku sejak kecil dulu. Foto saat ibu
hamil, saat aku bayi, saat aku menangis, saat aku merangkak, saat belajar
berjalan, saat belajar naik sepeda hingga foto-foto saat aku bersekolah. Di
setiap foto itu juga terlihat foto ibu dan bapak yang tersenyum lebar seakan
memperlihatkan itulah anak yang paling mereka banggakan.
Lama aku memandangi semua foto
itu, berbagai memori terlintas di pikiranku, dan seketika air mata mengalir
deras membasahi pipiku. Aku menyadari betapa sayangnya kedua orang tuaku
padaku. Mereka yang selalu mengutamakan kebahagiaanku dan tak kenal lelah
mengurusku.
Aku sadar perjuangan mereka
mengurusku jauh dibanding apa yang sudah kuberi pada mereka, bahkan sampai saat
ini. Dulu waktu kecil, aku juga begitu menyusahkan dan tak bisa mengingat apa
saja yang yang diberikan kedua orang tuaku. Namun mereka terus merawatku, tanpa
pamrih, tanpa imbalan, hanya agar aku mandiri dan bahagia suatu saat nanti.
Bertahun-tahun hingga aku mengerti akan hidup ini.
Sekarang mungkin siklus berganti,
waktu berputar, sekarang merekalah yang tak lagi mengingatku. Namun apa yang ku
lakukan? Aku malah bersikap arogan, tak peduli, aku malah tak membalas semua
kasih sayang kedua orang tuaku. Aku sungguh menyesal. Aku ingin memberikan yang
terbaik bagi bapak ibuku semasih aku bisa melakukannya.
Akhirnya aku bangkit, beranjak
menuju kamar bapak ibu dan memeluk kedua orang tuaku dengan penuh kasih sayang.
Setidaknya aku ingin selalu menemani mereka dan tetap melihat senyuman di wajah
mereka. Walau ibuku sudah tak lagi mengingatku dan bapak memandangku dengan
tatapan kosong, itu sudah tak apa bagiku. Aku akan merawat kedua orang tuaku,
membalas semua kasih sayang mereka padaku. Hingga suatu hari, waktu mungkin kan
membawa mereka pergi.
0 comments