Cerpen - Siklus Waktu

by - November 26, 2018


Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, aku menikah dan tinggal bersama suamiku meninggalkan bapak ibu berdua dirumah. Mereka selalu mengunjungiku tiap akhir pekan, ikut membantuku merawat kedua anakku hingga sebesar sekarang. Aku dan suamiku dari dulu sibuk bekerja sampai malam hingga kewalahan mengurus keluarga, namun kedua orang tuaku selalu datang membantu.

Beberapa tahun terakhir kedua orang tuaku jarang mengunjungiku. Aku juga jarang bertemu mereka karena kesibukan di tempat kerja. Hal itu membuatku tidak mengetahui bahwa ibuku memiliki sakit Hipertensi sejak lama. Hingga akhirnya sebulan yang lalu ibuku terkena stroke. Nyawanya hampir tak terselamatkan karena terlambat ditangani. Setelah beberapa hari di rumah sakit ibu diizinkan pulang namun kondisinya buruk sekali. Ibu mengalami kelumpuhan total setengah badannya serta mengalami penurunan fungsi otak.
“Siapa kamu nak?”, begitu tanya ibu satu hari saat melihatku.
“Ini saya Nita bu, anakmu”, hatiku teriris menyadari ibu tak lagi mengenaliku.

Aku teringat pernyataan dokter tentang perdarahan di otak ibu yang sangat luas sehingga ada beberapa fungsi otaknya terganggu. Sementara itu sejak mengetahui kondisi ibu, bapakku seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia hanya diam terus memandang ibu, ada kesedihan yang dalam di matanya. Semenjak itu bapak tak banyak bicara, tak mau makan, bahkan tak mau beranjak dari sisi ibu. Gangguan depresi berat kata dokter.

Awalnya aku mengajak bapak ibu tinggal di rumah suamiku, tapi satu hari saja disana bapak sudah mengamuk ingin pulang. Dia ingin tinggal di rumahnya bersama ibu. Aku pasrah. Aku terpaksa mengikuti keinginan bapak. Aku juga mencarikan pembantu untuk mengurus bapak ibu, tapi percuma. Bapak memarahi pembantu itu hingga mengundurkan diri.

Semenjak itu akhirnya aku berhenti dari kerja dan memutuskan untuk merawat bapak ibu. Pagi siang malam aku menemani bapak ibu di rumah – rumah saat ku kecil dulu. Aku membantu membersihkan badan mereka, memberikan makan, juga mencarikan apapun yang diinginkan.

Semuanya terasa sangat berat. Aku harus mengurus banyak hal. Belum lagi saat setiap aku menghampiri, ibu sama sekali tidak mengenalku. Sementara bapak, hanya melihatku dengan tatapan kosong. Ada rasa sedih dan kesal dalam hatiku, kenapa ini semua terjadi dan apa yang harus ku lakukan.

Lama-kelamaan aku semakin emosional. Ibu dan bapakku menjadi bertingkah kekanak-kanakan. Ibu menolak semua jenis makanan yang kuberikan, merengek minta sesuatu. Sementara bapak, tiba-tiba buang air sembarangan dan merusak barang-barang di kamar. Semua ini membuatku frustasi.

Hari ini sebulan sudah ibu dan bapakku dengan kondisi seperti ini. Aku merasa sudah tak kuat lagi dan rasanya ingin menyerah saja. Aku menghempaskan tubuhku di kamar. Aku teringat inilah kamarku saat kecil dulu hingga akhirnya ikut ke rumah suamiku. Tak banyak hal berubah dari kamar ini, barang-barangnya semua utuh seperti saat ditinggalkan. Kamar ini juga bersih karena ibu bapak terus merapikannya, katanya supaya aku bisa tidur disini kalau suatu saat tiba-tiba mampir ke rumah.

Aku lihat banyak foto-foto kenangan terpajang di dinding. Foto-fotoku sejak kecil dulu. Foto saat ibu hamil, saat aku bayi, saat aku menangis, saat aku merangkak, saat belajar berjalan, saat belajar naik sepeda hingga foto-foto saat aku bersekolah. Di setiap foto itu juga terlihat foto ibu dan bapak yang tersenyum lebar seakan memperlihatkan itulah anak yang paling mereka banggakan.

Lama aku memandangi semua foto itu, berbagai memori terlintas di pikiranku, dan seketika air mata mengalir deras membasahi pipiku. Aku menyadari betapa sayangnya kedua orang tuaku padaku. Mereka yang selalu mengutamakan kebahagiaanku dan tak kenal lelah mengurusku.

Aku sadar perjuangan mereka mengurusku jauh dibanding apa yang sudah kuberi pada mereka, bahkan sampai saat ini. Dulu waktu kecil, aku juga begitu menyusahkan dan tak bisa mengingat apa saja yang yang diberikan kedua orang tuaku. Namun mereka terus merawatku, tanpa pamrih, tanpa imbalan, hanya agar aku mandiri dan bahagia suatu saat nanti. Bertahun-tahun hingga aku mengerti akan hidup ini.

Sekarang mungkin siklus berganti, waktu berputar, sekarang merekalah yang tak lagi mengingatku. Namun apa yang ku lakukan? Aku malah bersikap arogan, tak peduli, aku malah tak membalas semua kasih sayang kedua orang tuaku. Aku sungguh menyesal. Aku ingin memberikan yang terbaik bagi bapak ibuku semasih aku bisa melakukannya.

Akhirnya aku bangkit, beranjak menuju kamar bapak ibu dan memeluk kedua orang tuaku dengan penuh kasih sayang. Setidaknya aku ingin selalu menemani mereka dan tetap melihat senyuman di wajah mereka. Walau ibuku sudah tak lagi mengingatku dan bapak memandangku dengan tatapan kosong, itu sudah tak apa bagiku. Aku akan merawat kedua orang tuaku, membalas semua kasih sayang mereka padaku. Hingga suatu hari, waktu mungkin kan membawa mereka pergi.

You May Also Like

0 comments