Curious
Beberapa tahun yang lalu aku
pernah menulis seperti ini, “Aku penasaran bagaimana hidup di zaman dulu,
bersosial, berkomunikasi - sebelum media sosial, sebelum internet - dimana orang-orang
masih menggunakan surat, yang berhari-hari bahkan tahun. Orang-orang menjalani
kehidupan nyata, tidak maya. Orang-orang masih peduli dengan lingkungan, secara
fisik. Emosi, perasaan sangat terasa, kata rindu begitu tulus, dalam; dimana
perlu usaha, perjuangan akan sesuatunya dan dimana nilai kemanusiaan masih ada.”
Begitu pula tahun lalu aku masih menulis tentang hal yang sama, “Aku penasaran,
apa sih yang dilakukan oleh orang-orang untuk membunuh waktu - misalnya pas
nunggu jemputan, nunggu pesanan makanan, nunggu guru pas pelajaran, dll -
sebelum adanya smartphone di tangan?”
Kita sadari atau tidak, apa yang
kita lakukan hari ini jauh berbeda dengan kehidupan bertahun-tahun sebelumnya. Dengan
adanya perangkat canggih di tangan kita yang mampu melakukan apapun, kita
seperti tidak menghiraukan apa yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak
membiarkan pikiran atau badan untuk sekadar rileks, cukup untuk tidak
memikirkan atau melakukan apa-apa. Kita tak membiarkan pikiran kosong, apalagi
untuk mendengarkan suara dari dalam diri. Kita lebih memilih untuk menyibukkan
diri melihat berbagai hal yang ada di tangan kita tersebut. Begitu juga,
interaksi kita dengan orang di sekitar pun menjadi berkurang. Hal itu mungkin
akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengenal atau mendengar sebuah
kisah yang mengesankan dari orang lain. Atau kita kehilangan momen untuk
menikmati apa yang ada di sekitar kita, alam, udara, suara burung, atau yang
lainnya.
Media sosial kita ketahui menjadi
salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia saat ini. Ia digunakan sebagai
tanda eksistensi, bahwa kita ada di dunia ini, dan itu yang dipikirkan oleh
kebanyakan orang. Setiap orang membagikan dan menunjukkan dirinya di dunia
maya, dan seolah belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Aku
mengenal seorang teman yang terlihat sangat bahagia di media sosial namun
menyimpan permasalahan yang begitu berat di kehidupannya. Begitu pula dengan
orang yang tak pernah aktif di dunia maya belum tentu memiliki hidup yang buruk, social media is not the measure of
happiness.
Seringkali kita menenggelamkan
diri berjam-jam dalam sesuatu yang ada di tangan kita untuk mencari sesuatu
yang membahagiakan. Melihat status orang lain, berkomentar, menunjukkan diri, atau
mencari apapun. Tak peduli dimanapun tempatnya, asalkan bisa membuat kita
nyaman. Kita menghindari berinteraksi dengan orang lain, menghindari perasaan
kesepian. Ada yang bilang smartphone itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan
yang dekat namun itu balik lagi ke pemakainya masing-masing, bagaimana kita
menggunakannya dan untuk keperluan apa.
Kembali lagi ke topik awal, “Aku
penasaran bagaimana rasanya dulu saat sebelum sekarang ini?”. Saat kita
benar-benar hidup saat ini, lebih sering mendengarkan orang lain dan tidak lupa
juga mendengarkan suara dari dalam diri sendiri. Saat ketulusan, kejujuran
masih ada dan rasa kemanusiaan berada di atasnya. Jangan sampai ke depannya,
kita “nyata di dunia maya dan maya di dunia nyata”.
0 comments