Cinta dan Sampah Plastik

by - Agustus 17, 2019


Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk “Festival Peduli Lingkungan” dimana terdapat banyak stand-stand yang menjual barang-barang hasil daur ulang, barang-barang yang ramah lingkungan, dan disini juga berkumpul banyak komunitas yang mengatasnamakan dirinya pecinta lingkungan, anti plastik, pelindung lautan, dan lain sebagainya. Dan tentu saja yang menjadi bintang di acara ini ialah plastik. Ia dijadikan kambing hitam atas segala kerusakan alam yang ada di Indonesia khususnya lautannya. Berbagai spanduk, banner, pamflet, selebaran, dengan tulisan yang besar-besar menunjukkan data dan kata bagaimana plastik menghancurkan bumi ini. Yel-yel lantang dibunyikan, seperti “Indonesia adalah penyumbang sampah plastik tertinggi kedua di dunia”. Semua berlomba-lomba menayangkan prestasi Indonesia dalam hal sampah plastik ini.

Lalu aku mencoba mengunjungi salah satu stand yang dikelola oleh salah satu komunitas yang bergerak di bidang sampah. Mereka menjelaskan tentang bagaimana mereka telah melakukan banyak hal seperti membersihkan pantai, membersihkan gunung, sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang sampah, bahkan sampai ke desa-desa. Mereka juga menjual berbagai pernak-pernik barang hasil daur ulang sampah plastik yang dijadikan vas bunga, bingkai foto, tempat sampah, dan lainnya. Salut aku melihat perjuangan mereka yang begitu peduli dengan alam ini. Tapi saat aku hendak berlalu, aku baru menyadari hampir semua dari mereka dengan santainya merokok di sekitaran stand, seperti tidak peduli dengan orang-orang yang menghisap asap rokok tersebut. “Mungkin saja isu tentang sampah plastik jauh lebih penting dari isu rokok”, begitu pikirku.

Saat di perjalanan pulang, aku melihat banyak baliho di pinggir jalan yang menghimbau untuk menggunakan bahan-bahan dari plastik. Di lengkapi dengan tokoh publik yang menjadi ambassador mereka masing-masing. Atau himbauan untuk membawa kantong belanja sendiri apabila belanja ke supermarket, pasar bahkan warung kecil. Ah iya, di daerahku bukan hanya himbauan, tapi menggunakan plastik itu sudah dilarang, dan ada sangsinya bagi yang melanggar. Awalnya ibu-ibu protes, para pedagang protes, produsen plastik juga protes, tapi toh aturan itu tetap berjalan. Lalu berbagai komunitas, tokoh, politisi, muncul mencari panggung seolah merekalah yang paling berperan dalam menangani sampah plastik ini. Mengutuk setiap plastik yang ada padahal di rumahnya mereka masih bergantung dengan plastik dalam setiap kebutuhan.

Aku berpikir, orang-orang sedang sibuk tentang isu sampah plastik. Entah itu karena kegelisahan hatinya sendiri atau sekadar ikut-ikutan tren saja. Padahal plastik sangat berguna dan membantu kehidupan kita sehari-hari. Kita berhutang budi pada plastik yang telah sangat membantu hidup kita, namun setelah sekarang sampah plastik membukit bahkan menggunung, kita mengutuknya. Padahal, kita lah yang tidak bisa membuang sampah plastik itu dengan bijak.

Satu ketika, aku pernah diajak berdiskusi oleh salah satu teman tentang isu pelarangan penggunaan plastik ini. Dia seperti orang yang baru belajar hal baru, dengan berbusa-busa menjelaskan tentang bahaya plastik dan sangat memuji keputusan kepala daerah untuk melarang penggunaan plastik ini. Sementara aku hanya diam saja mendengarkan. Namun dalam hati aku berpikir, daripada melarang penggunaan plastik, lebih baik kita menggalakkan budaya untuk membuang sampah pada tempatnya. Dimulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat. Karena hingga kini masih banyak orang yang tidak sadar untuk menjaga lingkungan dimulai dari diri sendiri dengan hal yang kecil ini. Pemerintah juga nantinya harus memfasilitasi pemilahan dan daur ulang sampah-sampah ini. Tapi biarlah sudah, susah untuk membangun sebuah kebiasaan baru, termasuk mengurangi penggunaan plastik ini. Kami menyudahi diskusi yang tentu saja dimenangi oleh temanku itu. Lalu kami beranjak pergi, aku membuang sampahku sementara dia dengan santai berkata, “Biar saja disana, nanti kan ada pelayan yang membersihkan.”

Mungkin aku terlalu banyak melamun sehingga tidak terasa sudah sampai di rumah. Rumahku begitu sederhana namun disinilah kehangatan keluarga begitu terasa. Begitu juga bau sampah yang berada di sekelilingku. Lebih tepatnya rumahku yang berada di sekeliling sampah. Kedua orang tuaku adalah pemulung, setiap hari mereka mencari sampah plastik, karton, besi atau apa saja yang bisa dijual dari pagi hingga menjelang tengah hari, lalu saat malam hingga menjelang subuh. Dari hasil jualan sampah inilah mereka berhasil menyekolahkan aku hingga kuliah seperti sekarang ini. Sesekali aku sempat membantu mereka “mulung” dan aku merasakan bagaimana beratnya perjuangan hidup mereka.

Apabila plastik sudah benar-benar dilarang penggunaannya, bagaimana nasib kedua orang tuaku nanti dan bagaimana aku bisa melanjutkan kuliahku. Aku hanya bisa memandangi kedua orang tuaku yang kembali bergelut memilah berbagai jenis sampah tersebut, meletakkannya dalam karung, menimbangnya lalu mengumpulkannya dalam satu tempat. Lalu aku mengambil sebuah kertas dan menulis, “Sementara aku sangat ingin seperti plastik yang tidak mudah diurai, tidak mudah hilang bersama waktu. Walaupun sering disalahkan tapi mereka tak sadar seberapa besar kegunaanku bagi hidup mereka.”

You May Also Like

1 comments

  1. numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    BalasHapus