Hari ini aku baru
saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di
kampusku sedang ada ada acara bertajuk “Festival Peduli Lingkungan” dimana
terdapat banyak stand-stand yang menjual barang-barang hasil daur ulang, barang-barang
yang ramah lingkungan, dan disini juga berkumpul banyak komunitas yang
mengatasnamakan dirinya pecinta lingkungan, anti plastik, pelindung lautan, dan
lain sebagainya. Dan tentu saja yang menjadi bintang di acara ini ialah
plastik. Ia dijadikan kambing hitam atas segala kerusakan alam yang ada di
Indonesia khususnya lautannya. Berbagai spanduk, banner, pamflet,
selebaran, dengan tulisan yang besar-besar menunjukkan data dan kata bagaimana plastik
menghancurkan bumi ini. Yel-yel lantang dibunyikan, seperti “Indonesia adalah
penyumbang sampah plastik tertinggi kedua di dunia”. Semua berlomba-lomba menayangkan
prestasi Indonesia dalam hal sampah plastik ini.
Lalu aku mencoba
mengunjungi salah satu stand yang dikelola oleh salah satu komunitas yang bergerak
di bidang sampah. Mereka menjelaskan tentang bagaimana mereka telah melakukan
banyak hal seperti membersihkan pantai, membersihkan gunung, sosialisasi ke
sekolah-sekolah tentang sampah, bahkan sampai ke desa-desa. Mereka juga menjual
berbagai pernak-pernik barang hasil daur ulang sampah plastik yang dijadikan
vas bunga, bingkai foto, tempat sampah, dan lainnya. Salut aku melihat
perjuangan mereka yang begitu peduli dengan alam ini. Tapi saat aku hendak
berlalu, aku baru menyadari hampir semua dari mereka dengan santainya merokok
di sekitaran stand, seperti tidak peduli dengan orang-orang yang menghisap asap
rokok tersebut. “Mungkin saja isu tentang sampah plastik jauh lebih penting
dari isu rokok”, begitu pikirku.
Saat di perjalanan
pulang, aku melihat banyak baliho di pinggir jalan yang menghimbau untuk
menggunakan bahan-bahan dari plastik. Di lengkapi dengan tokoh publik yang
menjadi ambassador mereka masing-masing. Atau himbauan untuk membawa kantong
belanja sendiri apabila belanja ke supermarket, pasar bahkan warung kecil. Ah
iya, di daerahku bukan hanya himbauan, tapi menggunakan plastik itu sudah
dilarang, dan ada sangsinya bagi yang melanggar. Awalnya ibu-ibu protes, para
pedagang protes, produsen plastik juga protes, tapi toh aturan itu tetap berjalan.
Lalu berbagai komunitas, tokoh, politisi, muncul mencari panggung seolah
merekalah yang paling berperan dalam menangani sampah plastik ini. Mengutuk
setiap plastik yang ada padahal di rumahnya mereka masih bergantung dengan plastik
dalam setiap kebutuhan.
Aku berpikir, orang-orang
sedang sibuk tentang isu sampah plastik. Entah itu karena kegelisahan hatinya
sendiri atau sekadar ikut-ikutan tren saja. Padahal plastik sangat berguna dan
membantu kehidupan kita sehari-hari. Kita berhutang budi pada plastik yang telah
sangat membantu hidup kita, namun setelah sekarang sampah plastik membukit
bahkan menggunung, kita mengutuknya. Padahal, kita lah yang tidak bisa membuang
sampah plastik itu dengan bijak.
Satu ketika, aku
pernah diajak berdiskusi oleh salah satu teman tentang isu pelarangan
penggunaan plastik ini. Dia seperti orang yang baru belajar hal baru, dengan
berbusa-busa menjelaskan tentang bahaya plastik dan sangat memuji keputusan
kepala daerah untuk melarang penggunaan plastik ini. Sementara aku hanya diam
saja mendengarkan. Namun dalam hati aku berpikir, daripada melarang penggunaan
plastik, lebih baik kita menggalakkan budaya untuk membuang sampah pada
tempatnya. Dimulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat. Karena hingga kini
masih banyak orang yang tidak sadar untuk menjaga lingkungan dimulai dari diri
sendiri dengan hal yang kecil ini. Pemerintah juga nantinya harus memfasilitasi
pemilahan dan daur ulang sampah-sampah ini. Tapi biarlah sudah, susah untuk
membangun sebuah kebiasaan baru, termasuk mengurangi penggunaan plastik ini.
Kami menyudahi diskusi yang tentu saja dimenangi oleh temanku itu. Lalu kami
beranjak pergi, aku membuang sampahku sementara dia dengan santai berkata, “Biar
saja disana, nanti kan ada pelayan yang membersihkan.”
Mungkin aku
terlalu banyak melamun sehingga tidak terasa sudah sampai di rumah. Rumahku
begitu sederhana namun disinilah kehangatan keluarga begitu terasa. Begitu juga
bau sampah yang berada di sekelilingku. Lebih tepatnya rumahku yang berada di
sekeliling sampah. Kedua orang tuaku adalah pemulung, setiap hari mereka
mencari sampah plastik, karton, besi atau apa saja yang bisa dijual dari pagi
hingga menjelang tengah hari, lalu saat malam hingga menjelang subuh. Dari
hasil jualan sampah inilah mereka berhasil menyekolahkan aku hingga kuliah
seperti sekarang ini. Sesekali aku sempat membantu mereka “mulung” dan aku
merasakan bagaimana beratnya perjuangan hidup mereka.
Apabila plastik
sudah benar-benar dilarang penggunaannya, bagaimana nasib kedua orang tuaku
nanti dan bagaimana aku bisa melanjutkan kuliahku. Aku hanya bisa memandangi
kedua orang tuaku yang kembali bergelut memilah berbagai jenis sampah tersebut,
meletakkannya dalam karung, menimbangnya lalu mengumpulkannya dalam satu
tempat. Lalu aku mengambil sebuah kertas dan menulis, “Sementara aku sangat
ingin seperti plastik yang tidak mudah diurai, tidak mudah hilang bersama
waktu. Walaupun sering disalahkan tapi mereka tak sadar seberapa besar
kegunaanku bagi hidup mereka.”
1 comments
numpang promo ya gan
BalasHapuskami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*