• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Wirga Wirgunatha

Carpe Diem



Aku begitu melankoli hari ini. Aku memandang kehidupan sebagai sesuatu yang entahlah, akupun tak mampu mendeskripsikannya. Mungkin kadar serotoninku sedang rendah, aku merasa sedikit depresi.
Kehidupan terdiri atas serangkaian kejadian baik, buruk, terdiri dari orang beraneka ragam.
Aku merasa rindu. Rindu dengan masa lalu. Rindu mengetahui semua hal dalam hidup ini. Rindu mengetahui sejarah masa lalu. Rindu dengan kebaikan.
Aku mengutuk orang-orang yang tak punya hati. Memiliki kuasa, pengetahuan, tapi tak menggunakan hati. Sesukanya menindas orang yang lemah.
Aku ingin memiliki peran. Ingin memberi sedikit perubahan dalam kehidupan. Ingin memiliki makna.
(2016)

Aku masih merasa melankoli, tidak ada ubahnya seperti hari yang lalu. Kesedihan masih bergelayut manja di antara hari-hari yang semakin hampa. Kesunyian menjadi temannya. Berdua menari-menari di atas hari yang semakin sepi. Rasa sepi adalah sahabat sejati seorang manusia.
Bukan hanya depresi, tapi rasa cemas, panik, takut, semua berkumpul jadi satu. Untung saja tidak sampai psikotik. Tekanan demi tekanan terus berdatangan membuat sakit muncul menuju permukaan.
Rasa sedih juga muncul tanpa diundang, sedih meratapi keadaan. Sementara keadaan yang selalu diratapi, tak pernah peduli. Dia terus saja berjalan mesra bersama waktu, meninggalkan mereka yang tak suka atau suka padanya. Menyisakan kenangan pahit atau ingatan manis terserah dari yang menanggungnya.
Betapa senangnya menjadi anak kecil yang belum menjadi budak ingatan. Tak ada penyesalan juga keraguan. Dunia seperti tempat bermain tak berkesudahan.
Aku sudah berhenti mengutuk orang lain. Biarlah orang lain punya dunianya sendiri, asal tidak merusak dunia orang lain. Kalau pun sampai merusak, biar saja, toh pada akhirnya semua akan lebur. Sementara aku lebih senang mengutuk diri sendiri. Diri yang tak tahu diri dan hanya mau menang sendiri. Diri yang hanya bisa bermimpi, yang lebih senang tidur di atas tikar daripada bekerja mencari gelar.
Aku sudah berhenti mencari peran atau berusaha merubah dunia. Dunia biarlah seperti apa adanya. Lebih enak menjadi penonton daripada pemeran utama. Penonton bisa menghina, melempar, atau meninggalkan jika dunia tak sesuai hatinya. Dan jika makna adalah sesuatu yang membuat manusia hidup, maka aku sudah lama mati.
(2019)

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia sudah berkali-kali ke tempat ini dengan keluhan yang beragam, mulai dari sakit kepala, mual muntah, nyeri sendi, batuk pilek atau sekadar meriang. Selalu saja sempat bapak itu datang ke sini dan biasanya dia akan duduk lama mengobrol dengan pasien lainnya di ruang tunggu. Kali ini wajah bapak terlihat lebih sedih dari biasanya, mungkin ada beban berat yang tidak bisa ditanggungnya lagi. Karena bapak tersebut merupakan pasien terakhir untuk siang ini maka iseng aku bertanya tentang kehidupan bapak tersebut dan seperti air yang mengalir deras dia menceritakan semua beban hidupnya. Beban sebagai pria Bali di tengah kehidupan dewasa ini.

Bapak memulai ceritanya dengan mengeluh tentang kondisi hidupnya yang ternyata setelah menginjak usia setua ini bukannya pekerjaannya semakin mudah karena ada anak-anak, justru sebaliknya, beban kehidupan masih dia yang menanggung. Bapak selalu membandingkan kondisinya sekarang dengan sewaktu usia dia muda. Bapak lahir di tengah keluarga petani dan masyarakat yang menjalani seluruh kegiatan adatnya dengan tekun. Sejak muda bapak sudah diajak oleh orang tuanya ke sawah untuk menggarap padi atau tanaman lainnya, karena itulah mata pencahariaan mayoritas penduduk pada masa itu. Setiap keluarga memiliki lahan tani yang cukup luas, mereka biasa saling membantu setiap musim tanam dan panen. Dan saling berbagi tiap ada keluarga yang gagal panen. Begitu juga saat ada kegiatan adat di banjar, bapak diajak oleh orang tuanya untuk “ngayah” di pura atau saat ada pernikahan, kematian, metatah, otonan, dan upacara lainnya. Semua aktivitas ini bapak lakukan walaupun terasa melelahkan karena kelak saat dia sudah menikah nanti bapaklah yang akan menggantikan posisi orang tuanya.

Di masyarakat dahulu, kegiatan masyarakat sebagai petani bisa berjalan mengimbangi kegiatan adat agama yang turut berjalan tiada henti. Warga dengan iklas melakukan semuanya, karena persembahan harus dilakukan tanpa pamrih. Mereka hidup dengan sederhana, asal bisa makan itu sudah cukup. Yang penting semua upacara bisa dijalankan. Setelah bapak menikah, selain mengurus keluarganya sendiri, secara otomatis seluruh tanggungjawab adat di masyarakat di tujukan kepadanya juga. Beban orang tua bapak sudah bisa lebih ringan karena ada yang menggantikan setelah puluhan tahun fisiknya terkuras. Dan puluhan tahun pula bapak bekerja keras membanting tulang, menjadi pria Bali yang harus menghidupi keluarga di tengah masyarakat dengan upacara adat yang begitu banyak.

Bapak mencoba meniru bagaimana cara orang tuanya membesarkan bapak dahulu dan berharap suatu saat anaknya sudah dewasa nanti bapak bisa bersantai. Namun semua tidak seperti yang diharapkan bapak. Bapak memiliki dua anak laki-laki yang menurut orang Bali memiliki anak laki adalah berkah bagi keluarga karena kelak mereka yang akan “mengurus” Pura di rumah. Tapi tidak seperti anak-anak jaman dahulu yang bisa diajak bertani, kedua anaknya tidak mau ikut di ajak ke sawah karena mereka malu saat diolok-olok oleh teman sekolah karena dikatakan anak petani. Memang benar, pada masa sekarang bertani sudah susah, bukan hanya karena pendapatan sedikit tapi juga sudah tidak ada yang mau “capek” bertani. Sebagian masyarakat bahkan menjual lahan pertanian mereka pada orang-orang kaya dari kota untuk dijadikan hotel dan villa. Hanya lahan tani bapak yang masih bertahan hingga sekarang. Banyak warga yang sudah beralih ke pariwisata seperti menjadi “gaid”, bekerja di hotel, di kapal pesiar, di bar, di travel atau tempat lainnya yang belakangan ini sedang begitu populernya karena banyak mendapat penghasilan.

Begitu juga dengan kedua anak laki-laki bapak. Yang satu bekerja di Kuta lalu setelah menikah ia bekerja di kapal pesiar, beda lagi dengan adiknya yang sejak lulus SMA sudah bekerja di salah satu restoran di Laut Karibia, entah dimana tempat itu berada bapak tidak tahu, yang bapak tahu setiap bulan jutaan uang akan masuk ke rekening bapaknya dan itu sudah bisa digunakan untuk membenarkan rumah, sanggah, memberi tetangga, bahkan membeli keperluan agar terlihat modern seperti sekarang ini.

Kedua anaknya pergi merantau, kembali menyisakan bapak berdua dengan istrinya. Juga harus mengurus istri anak pertamanya dan anaknya yang masih bayi. Bapak harus membantu mantunya yang masih belum berpengalaman, juga mengempu cucunya. Setelah itu, bapak mesti tetap menggarap lahan pertaniannya yang hampir tiap hari didatangi makelar yang mengincar tanahnya. Juga mengurus semua tetek bengek adat yang tidak bisa ditinggalkan. Di umur bapak yang sudah tidak muda lagi, dengan tenaga yang tidak prima lagi, bapak mesti menanggung beban yang lebih berat ketimbang sebelumnya.

Puncak kesedihan bapak yaitu saat istrinya meninggal karena sakit dan telah “diaben” satu minggu yang lalu, tanpa kehadiran kedua anaknya karena mereka berada di luar negeri bekerja. Rasa sedih dan sepi sangat dirasakan oleh bapak. Memang uang bapak dapatkan berlimpah dari kedua anaknya tapi bukanlah itu yang dia inginkan. Toh dahulu saat mereka tak punya apa mereka bisa hidup sederhana dan bahagia. Yang bapak inginkan hanya bisa berkumpul bersama kedua anaknya, menjalankan semua aktivitas adat bersama, seperti yang dia dan orang tuanya lakukan dahulu.

Tak terasa sudah sejam berlaku, bapak bercerita sambil meneteskan air matanya. Langit sudah semakin merangkak dan sepertinya aku terlalu larut dalam cerita bapak. Aku menyudahi obrolan itu, memberikan resep kepada bapak dan mendoakan semoga diberikan jalan terbaik untuk kehidupan bapak. Aku melihat jam sekali lagi dan terlintas gambaran kedua orang tuaku yang juga sudah mulai menua yang ku tinggal berdua di rumah.
Share
Tweet
Pin
Share
3 comments

Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk “Festival Peduli Lingkungan” dimana terdapat banyak stand-stand yang menjual barang-barang hasil daur ulang, barang-barang yang ramah lingkungan, dan disini juga berkumpul banyak komunitas yang mengatasnamakan dirinya pecinta lingkungan, anti plastik, pelindung lautan, dan lain sebagainya. Dan tentu saja yang menjadi bintang di acara ini ialah plastik. Ia dijadikan kambing hitam atas segala kerusakan alam yang ada di Indonesia khususnya lautannya. Berbagai spanduk, banner, pamflet, selebaran, dengan tulisan yang besar-besar menunjukkan data dan kata bagaimana plastik menghancurkan bumi ini. Yel-yel lantang dibunyikan, seperti “Indonesia adalah penyumbang sampah plastik tertinggi kedua di dunia”. Semua berlomba-lomba menayangkan prestasi Indonesia dalam hal sampah plastik ini.

Lalu aku mencoba mengunjungi salah satu stand yang dikelola oleh salah satu komunitas yang bergerak di bidang sampah. Mereka menjelaskan tentang bagaimana mereka telah melakukan banyak hal seperti membersihkan pantai, membersihkan gunung, sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang sampah, bahkan sampai ke desa-desa. Mereka juga menjual berbagai pernak-pernik barang hasil daur ulang sampah plastik yang dijadikan vas bunga, bingkai foto, tempat sampah, dan lainnya. Salut aku melihat perjuangan mereka yang begitu peduli dengan alam ini. Tapi saat aku hendak berlalu, aku baru menyadari hampir semua dari mereka dengan santainya merokok di sekitaran stand, seperti tidak peduli dengan orang-orang yang menghisap asap rokok tersebut. “Mungkin saja isu tentang sampah plastik jauh lebih penting dari isu rokok”, begitu pikirku.

Saat di perjalanan pulang, aku melihat banyak baliho di pinggir jalan yang menghimbau untuk menggunakan bahan-bahan dari plastik. Di lengkapi dengan tokoh publik yang menjadi ambassador mereka masing-masing. Atau himbauan untuk membawa kantong belanja sendiri apabila belanja ke supermarket, pasar bahkan warung kecil. Ah iya, di daerahku bukan hanya himbauan, tapi menggunakan plastik itu sudah dilarang, dan ada sangsinya bagi yang melanggar. Awalnya ibu-ibu protes, para pedagang protes, produsen plastik juga protes, tapi toh aturan itu tetap berjalan. Lalu berbagai komunitas, tokoh, politisi, muncul mencari panggung seolah merekalah yang paling berperan dalam menangani sampah plastik ini. Mengutuk setiap plastik yang ada padahal di rumahnya mereka masih bergantung dengan plastik dalam setiap kebutuhan.

Aku berpikir, orang-orang sedang sibuk tentang isu sampah plastik. Entah itu karena kegelisahan hatinya sendiri atau sekadar ikut-ikutan tren saja. Padahal plastik sangat berguna dan membantu kehidupan kita sehari-hari. Kita berhutang budi pada plastik yang telah sangat membantu hidup kita, namun setelah sekarang sampah plastik membukit bahkan menggunung, kita mengutuknya. Padahal, kita lah yang tidak bisa membuang sampah plastik itu dengan bijak.

Satu ketika, aku pernah diajak berdiskusi oleh salah satu teman tentang isu pelarangan penggunaan plastik ini. Dia seperti orang yang baru belajar hal baru, dengan berbusa-busa menjelaskan tentang bahaya plastik dan sangat memuji keputusan kepala daerah untuk melarang penggunaan plastik ini. Sementara aku hanya diam saja mendengarkan. Namun dalam hati aku berpikir, daripada melarang penggunaan plastik, lebih baik kita menggalakkan budaya untuk membuang sampah pada tempatnya. Dimulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat. Karena hingga kini masih banyak orang yang tidak sadar untuk menjaga lingkungan dimulai dari diri sendiri dengan hal yang kecil ini. Pemerintah juga nantinya harus memfasilitasi pemilahan dan daur ulang sampah-sampah ini. Tapi biarlah sudah, susah untuk membangun sebuah kebiasaan baru, termasuk mengurangi penggunaan plastik ini. Kami menyudahi diskusi yang tentu saja dimenangi oleh temanku itu. Lalu kami beranjak pergi, aku membuang sampahku sementara dia dengan santai berkata, “Biar saja disana, nanti kan ada pelayan yang membersihkan.”

Mungkin aku terlalu banyak melamun sehingga tidak terasa sudah sampai di rumah. Rumahku begitu sederhana namun disinilah kehangatan keluarga begitu terasa. Begitu juga bau sampah yang berada di sekelilingku. Lebih tepatnya rumahku yang berada di sekeliling sampah. Kedua orang tuaku adalah pemulung, setiap hari mereka mencari sampah plastik, karton, besi atau apa saja yang bisa dijual dari pagi hingga menjelang tengah hari, lalu saat malam hingga menjelang subuh. Dari hasil jualan sampah inilah mereka berhasil menyekolahkan aku hingga kuliah seperti sekarang ini. Sesekali aku sempat membantu mereka “mulung” dan aku merasakan bagaimana beratnya perjuangan hidup mereka.

Apabila plastik sudah benar-benar dilarang penggunaannya, bagaimana nasib kedua orang tuaku nanti dan bagaimana aku bisa melanjutkan kuliahku. Aku hanya bisa memandangi kedua orang tuaku yang kembali bergelut memilah berbagai jenis sampah tersebut, meletakkannya dalam karung, menimbangnya lalu mengumpulkannya dalam satu tempat. Lalu aku mengambil sebuah kertas dan menulis, “Sementara aku sangat ingin seperti plastik yang tidak mudah diurai, tidak mudah hilang bersama waktu. Walaupun sering disalahkan tapi mereka tak sadar seberapa besar kegunaanku bagi hidup mereka.”

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Sejak kecil aku seperti diajarkan secara tidak langsung untuk mengasihani orang lain. Rasa kasihan, oleh ibuku seperti menjadi dasar bagi kita untuk berlaku kepada orang lain dan kepada dunia. Dari beberapa hal sederhana hingga yang lebih besar rasa kasihan itu muncul kepada siapa saja, dan seperti menyingkirkan adanya realita buruk dalam kehidupan.

Cerita pertama yaitu saat aku masih kecil, aku dan saudaraku yang saat itu bersekolah di kota biasanya diantar jemput oleh orang tua. Namun seringkali karena satu kesibukan tertentu bapakku tidak bisa menjemput sehingga terpaksa kami harus mencari tumpangan sendiri untuk pulang, dan ojek adalah salah satu pilihannya. Seringkali aku menghindari naik ojek pulang karena tidak mau mengeluarkan uang lebih, atau biayanya mahal, intinya uang. Bahkan pernah aku sampai berjalan kaki pulang atau menumpang teman hanya supaya tidak keluar uang lebih. Namun ibuku berkata lain, dia malah menganjurkan aku untuk mengojek, kasian katanya. "Tidak apa ngojek aja, walaupun biayanya lebih besar dikit. Kasian mereka yang bekerja seharian, penuh keringat, lelah, berbagilah sedikit rejeki pada mereka". Dari sana aku mulai berpikir ternyata rasa kasian bisa kujadikan dasar untuk memutuskan sesuatu, lebih baik ketimbang berhemat.

Cerita kedua yaitu saat kami sekeluarga sedang mencari makan di pasar. Di sana terdapat berbagai jenis stand dengan beragam jenis makanan dan kami menyusuri para pedagang tersebut. Ada yang ramai dan sepi dan kami biasanya cenderung memilih yang sepi, saat itu ibuku berkata, "Beli makan disana saja ya, kasihan dagangannya paling sepi diantara yang lain. Kita bagi rejeki saja kesana mungkin mereka belum mendapat pembeli dari pagi". Jadilah kita makan disana dan para pelayannya menyambut kami dengan senang hati. Rasa kasihan lagi membimbing kami melakukan sesuatu. Mengalahkan keinginan kami untuk mencari makanan yang mungkin saja lebih enak.

Rasa kasihan kita juga kepada orang yang kurang beruntung membuat kita ingin membantu mereka. Seperti orang yang kurang mampu, orang yang sedang kecelakaan di jalan raya, anak yang tidak mempunyai orang tua. Bahkan karena kasihan pada pemimpin sekalipun yang terlihat mlelah mengurus negara membuat kita ingin turut serta membangun negeri ini. Rasa kasihan bisa memunculkan beribu kebaikan dari dalam diri.

Walaupun tentu saja rasa kasihan apabila ditunjukkan secara berlebihan atau diberikan dalam kondisi yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai macam dampak negatif, namun tidak menghilangkan kebaikan yang ada dari rasa kasihan tersebut. Dan tentu saja dunia akan terasa lebih indah apabila semua orang memiliki dan menerapkan rasa kasihan yang sama kepada setiap orang.

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Sungguh aku merasa terlambat karena baru sekarang membaca sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal yaitu “Sitti Nurbaya”. Sebuah kisah yang sudah berusia puluhan tahun namun tak pernah lekang termakan usia dan ditulis oleh seorang yang sangat hebat. Buku ini ku dapatkan dari sebuah toko buku kecil yang ada di kotaku. Toko buku yang kata pemiliknya hanya bertahan dengan buku-buku yang masih tersisa karena minat orang terhadap buku sudah sangat kurang pada masa sekarang ini.

Dari buku ini aku mengenal sosok Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya yang memiliki cinta yang sangat dalam namun tak mampu menemui akhir bahagia. Semua mimpi dan harapan yang mereka bayangkan hancur berantakan hingga tak tersisa oleh seorang manusia tua penuh iri dan dengki bernama Datuk Maringgih. Latar adat dan budaya Minang yang penuh dengan aturan serta kondisi Indonesia yang sedang dijajah oleh Belanda terasa sangat kental di dalam kisah ini. Berbagai aturan adat Padang seperti budaya perkawinan yang dijodohkan, kaum perempuan yang memilii tanggung jawab besar dalam keluarganya, kaum laki-laki yang bebas boleh menikah berkali-kali dan sering kali tidak semena-mena terhadap perempuan dan budaya lainnya. Ada tokoh yang menentang beragam budaya yang tidak adil tersebut namun lebih banyak yang mengamini semua tindak diskriminasi tersebut. Mereka menganggap bahwa kaum lelaki jauh lebih berkuasa ketimbang perempuan.

Awal kisah menceritakan seorang lelaki bernama Samsul Bahri yang merupakan anak seorang penghulu terkenal bernama Tengku Mahfud dan seorang perempuan bernama Sitti Nurbaya yang merupakan anak saudagar yang baik dan kaya raya bernama Sulaiman. Mereka sudah berteman sejak kecil dan hingga dewasa mereka menjadi sepasang kekasih. Di malam menjelang kepergian Samsul Bahri menuju Jakarta untuk belajar di sekolah dokter mereka berjanji akan saling mencintai hingga akhir hayat dan akan menikah suatu saat nanti. Mereka membayangkan saat-saat yang indah suatu saat jika Samsul sudah pulang dan mereka bisa bersama lagi.

Konflik dan bencana dimulai saat kehadiran Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya raya yang terkenal dengan sifat iri, dengki, dan sombongnya ini. Bahkan sepeserpun tidak akan dia berikan hartanya kepada orang lain. Dia tidak suka saat ada orang lain yang menyaingi bisnisnya termasuk Baginda Sulaiman. Karena itu mulailah dia menggunakan cara kotor untuk menghancurkan bisnis Sulaiman. Dia menyuruh pedagang untuk tidak lagi belanja disana, membakar kapal-kapal barang, merusak lahan pertanian, dan lainnya. Semua cara dia lakukan hingga keluarga Sualiman bangkrut dan dia tidak memiliki apapun. Lalu Datuk datang dengan manis untuk menawarkan pinjaman kepada Sulaiman. Setelah Sulaiman tidak mampu membayar utang tersebut, Datuk meminta anaknya untuk dijadikan istri atau Sulaiman harus dipenjara. Sitti yang tidak tega melihat ayahnya menderita lalu merelakan dirinya dinikahi oleh Datuk Maringgih. Berita ini diketahui Samsul Bahri di rantauan dan sungguhlah sedih hatinya saat mendengarnya.

Penderitaan dua pasangan ini tidak berakhir sampai di sini. Saat lebaran Samsul Bahri pulang ke kampung halamannya. Di sana dia melihat kekasihnya tercinta saat sedang merawat ayahnya yang sakit-sakitan karena menanggung penderitaan. Di sana mereka sempat berbincang seperti dahulu, berharap tentang hari-hari indah yang akan menanti suatu saat nanti. Tentang masa dimana mereka akan bertemu dengan kebahagiaaan. Namun sekali lagi, harapan itu pupus karena ternyata Datuk Maringgih mengintip kebersamaan mereka. Mengamuklah Datuk dan meminta agar Samsul diadili. Suasana gaduh, Sulaiman yang terkejut saat melangkah keluar terjatuh dan langsung meninggal. Nasib Samsul dia diusir oleh ayahnya yang tidak mau menanggung malu dan nama baiknya hancur. jadilah Samsul diusir pergi seorang diri ke Jakarta lagi.

Cerita berlanjut memperlihatkan Sitti yang menanggung kesedihan yang begitu dalam. Lalu dia menyusul sang kekasih hingga ke Jakarta dengan begitu banyak rintangan. Sebelum berlama mereka berdua di Jakarta, Datuk mengetahui berita itu dan menuduh Sitti ke petugas bahwa Sitti melarikan hartanya ke Jakarta dan meminta dia dibawa pulang. Tidak bisa berbuat apa, Sitti kembali pulang dengan tangan hampa. Dan tragisnya saat teah berada di kampung halaman, dia diracun oleh anak buah Datuk hingga meninggal. Entah karena apa mungkin kesedihan yang begitu dalam Ibu Samsul juga meninggalkan dunia ini. Berita ini terdengar sampai ke telinga Samsul di rantauan. Sungguh tak ada lagi alasan untuk hidup lagi dalam hidupnya. Dua perempuan yang menjadi alasan dia hidup telah tiada. Tak ada keinginan lagi bagi Samsul untuk hidup dan dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Kelanjutan cerita ternyata Samsul masih hidup dan dia bergabung dengan tentara Belanda. Berulang kali dia mencoba mati di peperangan namun keajaiban yang dia dapat. Dia terus menang hingga menjadi seorang letnan. Dan satu hari dia ditugaskan bersama pasukannya untuk melawan pemberontak di Kota Padang yang membangkang pada pemerintah Belanda. Di sana dia bertemu pimpinan mereka yang tiada lain adalah Datuk Maringgih. Dia mengakui identitasnya yang sebenarnya Samsul Bahri dan membalaskan dendamnya pada Datuk. Akhirnya dia bisa membalas semua tindak keji pada orang yang membuat semua kehancuran hidupnya. Namun nahas, Samsul juga terluka cukup parah dan di menjelang akhir hidupnya dia bertemu dengan ayahnya dan mengucapkan permohonan maafnya.

Begitulah akhir cerita ini, sebuah kisah kasih tak sampai. Bahwa setiap pasangan bisa berharap dan semua kembali pada takdir. Terkadang banyak harapan yang tak bisa terwujudkan, namun tak ada kisah yang sesedih kisah ini. Selain itu, kisah ini juga berisikan banyak pantun dan nasehat-nasehat yang dibalut dalam adat yang begitu kental. Nasehat tentang kehidupan yang sudah jarang kita temukan pada masa sekarang ini. Di sini aku juga menyadari bahwa di masa lalu pernah kita menganut adat yang seperti ini. Bahwa budaya kita begtu banyak dan beragam. Selamat membaca kisah yang menggetarkan jiwa dan membawa kita ke masa lalu ini.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati”, kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

Cerita ini berawal dari dua orang teman karib bernama Si Tokek dan Ajo Kawir. Layaknya remaja yang dipenuhi rasa ingin tahu apalagi tentang sesuatu yang berbau seksualitas membawa mereka menyaksikan sebuah aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh dua orang polisi pada seorang perempuan yang tidak waras semenjak ditinggal mati oleh suaminya. Ajo Kawir yang ketahuan mengintip saat itu dipaksa untuk membuka celana di depan si perempuan dan entah karena hal apa kemaluan Ajo Kawir tidak mau bangun lagi semenjak hari itu.

Kemaluan yang tidak mau bangun lagi menjadi sebuah bencana bagi hidup Ajo Kawir. Dia telah mencoba berbagai cara untuk membangunkan burungnya itu seperti dengan melihat gambar porno, mengoleskan potongan cabai rawit, bahkan satu malam Ayah Si Tokek pernah membawa Ajo Kawir ke sebuah tempat “jajan”, namun perempuan disana juga menyerah melihat “kontol” Ajo Kawir yang tidak bisa bangun tersebut.

Perjalanan hidup Ajo Kawir selanjutnya mempertemukan dirinya dengan seorang gadis petarung bernama Iteung. Mereka berkelahi saat Ajo Kawir ingin membunuh bos dari Iteung yang telah membuat hancur kehidupan banyak orang. Karena perkelahian yang hebat itu tanpa disadari mereka menjadi begitu dekat dan akhirnya menjadi sepasang kekasih. Namun muncul ketakutan dalam diri Ajo Kawir. Ajo Kawir memberi tahu Si Tokek bahwa ia tak mungkin menjadi kekasih Iteung atau kekasih perempuan manapun karena ia tak mungkin bisa memberikan apa yang mereka butuhkan. Sejak saat itu Ajo Kawir memilih menjauhi Iteung dan mereka berpisah tanpa penjelasan.

Dilanda oleh perasaan frustasi yang begitu dalam membuat perasaan yang menggebu-gebu muncul dari dalam diri Ajo Kawir dan dia rasanya ingin memukul dan berkelahi dengan seseorang. Di saat seperti itu muncul Paman Gembul yang memintanya untuk membunuh seorang musuh lama bernama Si Macan. Ajo Kawir lalu mempersiapkan diri dan menantang dengan terbuka Si Macan yang seorang preman senior tersebut.

Waktu berlalu akhirnya Ajo Kawir memberanikan diri untuk bertemu lagi dengan Iteung. Perempuan yang telah begitu dikecewakan hatinya itu memutuskan untuk tetap bersama dengan Ajo Kawir walaupun telah mengetahui kondisi Ajo Kawir yang sesungguhnya. “Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang tak bias ngaceng?”, tanya Ajo Kawir. “Aku akan menikahinya”, jawab Iteung.

Pada akhirnya Ajo Kawir menikah dengan Iteung namun sekali lagi ia harus kecewa saat melihat ternyata Iteung telah hamil lebih dahulu oleh seorang temannya sewaktu di perguruan. Hal itu membuat geram Ajo Kawir dan akhirnya ia melampiaskannya ke Si Macam dan itu membuatnya harus di penjara. Dan di saat ia bebas ia memutuskan untuk pergi ke Jakarta bekerja sebagai supir truk. Di Jakarta ia pikir akan menemukan kedamaian. Di sana dia dipertemukan dengan seorang anak muda bernama Mono Ompong yang menjadi kernetnya yang juga menyimpan ambisi begitu besar pada perempuan di kampung halamannya. Mereka berdua melewati banyak hal di perjalanan, termasuk konflik dengan seorang supir truk lain bernama Si Kumbang dan harus berakhir di ring pertarungan.

Semenjak pergi ke Jakarta, Ajo Kawir sudah menyerah dengan kondisinya dan dia memilih untuk menaati kemauan burungnya yang memilih jalan damai. Dia mengendarai truk sambil memperhatikan foto anak perempuan Iteung yang terus dikirimkan oleh Si Tokek kepadanya. Sementara itu, Iteung masuk penjara setelah membunuh Budi Baik yang tidak lain lelaki yang menghamilinya. Diceritakan juga di perjalanan Ajo Kawir sempat bertemu dengan seorang perempuan bernama Jelita yang mengingatkannya pada perempuan nona merah.

Di akhir kisah ini, saat Ajo Kawir pulang untuk menemui anak dan istrinya yang telah dibebaskan dari penjara, saat itu istrinya pergi untuk membunuh dua orang polisi yang menyebabkan penderitaan Ajo Kawir. Saat itulah, di rumahnya tanpa disadari kemaluan Ajo Kawir bisa bangun lagi, walaupun untuk itu Iteung harus dipenjara lagi.

Setelah membaca buku ini, dapat dilihat tokoh-tokoh dengan semua ketidakwarasannya yang mencerminkan ketidakwarasan jamannya. Dan di tengah kehidupan yang keras dan brutal ini, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Dalam sejarah peradaban manusia, kita temukan ada banyak tragedi kemanusiaan yang terjadi. Seperti peperangan, perbudakan, pembunuhan, tanpa belas kasihan mereka yang memiliki kuasa dapat melakukan hal semena-mena kepada mereka yang lemah. Dunia terdapat banyak kejahatan seolah tidak ada rasa bersalah dalam melakukan tindakan tersebut. Semua hal itu berlangsung dalam waktu yang lama dari generasi ke generasi, dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lainnya. Seolah perpindahan kekuasaan hanya seperti formalitas untuk memindahkan kejahatan yang dilakukan pada masanya.

Lalu muncul suatu masa dimana agama ditemukan dan tumbuh di tengah-tengah masyarakatnya dengan caranya masing-masing. Mereka mempengaruhi manusia tentang bagaimana dalam menjalani kehidupan. Namun entah ada apa dengan semua konsep yang diberikan di dalamnya karena semua itu tetap tidak bisa menumpas kejahatan yang ada dalam peradaban manusia. Malah, agama digunakan sebagai tameng untuk memuaskan nafsu akan kekuasaan dan harta yang ada dalam diri para penguasa. Setiap orang merasa agamanya yang paling benar dan berhak untuk menguasai dunia ini. Lalu apa yang salah dengan semua ini?

Keresahan yang dialami oleh manusia yang mendambakan suatu dunia yang ideal dan dipenuhi oleh kebaikan ini memunculkan suatu konsep yang disebut dengan hati nurani. Mereka mengatakan bahwa setiap manusia sebenarnya memiliki jiwa kebaikan dalam dirinya masing-masing dan ini disebut hati nurani. Dengan ini kita bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Begitu juga karena itu kita sepakat bahwa membunuh orang yang tidak bersalah itu salah, menyiksa anak kecil, memperkosa perempuan, dan hal buruk lainnya seharusnya dilarang. Atau peperangan, membiarkan warga kelaparan, juga sebuah kesalahan dalam sebuah pemerintahan. Hal inilah yang didasari untuk membuat sebuah aturan dalam sebuah peradaban untuk menjamin setiap warga yang hidup di dalamnya bisa hidup dengan baik dan bahagia tanpa kejahatan. Hati Nurani tidak memiliki agama, negara, ras, suku, atau golongan apapun. Ia berlaku bagi semua manusia dan dijadikan dasar berlaku bagi setiap insannya. Dan begitulah kita berharap mereka bisa menjadi solusi bagi setiap kejahatan yang ada di dunia.

Namun, realita yang terjadi sekarang ini setelah ribuan tahun manusia hidup di dunia ini tetapi masih saja tidak mampu membuat kebaikan menjadi dasar bagi kehidupan seluruh manusia. Konsep agama dan hati nurani tidak bisa memuaskan nafsu manusia akan kekuasaan dan harta dunia. Kejahatan masih tetap ada hanya saja caranya yang berbeda. Perbudakan, pembunuhan, perusakan, kebodohan, semua tetap langgeng di dunia namun caranya saja yang lebih halus. Manusia masih mengganggap bahwa mereka lebih tinggi dari manusia lainnya dan bebas melakukan apa saja terhadap mereka yang lemah tersebut. Manusia masih suka melihat ada kejahatan di dunia ini.

Lalu setelah itu, apa yang akan kita jadikan dasar lagi untuk membinasakan kejahatan yang ada di dunia ini setelah konsep tentang hati nurari menjadi tidak berguna?

---

Atau mungkin, tidak semua manusia menyukai kebaikan dalam dunia ini. Mungkin saja semua manusia memang memiliki hati nurani dan bisa membedakan baik dan buruk, namun tidak semuanya ingin mengikuti hati nurani tersebut. Mereka dengan sengaja berlaku sesuatu yang bertentangan dengan panggilan hati dan berbuat sewenang-wenang. Mereka hanya mementingkan kebahagiaan diri semata dan tidak merasa bersalah saat harus merugikan orang lain, dan memang memulih untuk melakukan hal tersebut. Orang ini tidak menyukai jika hanya ada kebaikan karena itu membosankan dan tidak mendatangkan kebahagiaan dalam hidupnya. Karena mereka justru bahagia saat hanya dirinya sendiri yang senang sedang yang lain menderita, mengalahhkan hati nurani mereka sendiri.

Atau kemungkinan lainnya, bahwa hati nurani itu tidak benar-benar ada. Tidak ada yang Namanya pemahaman yang bersifat sama tentang baik buruk dan benar salah. Tidak semua orang memiliki dengan tingkatan yang sama, yang mampu menciptakan sebuah dunia dengan kebaikan bersama. Mereka tidak bisa membedakan benar salah sehingga tidak merasa bersalah saat berlaku semena-mena. Mreka memilih jalan yang bertentangan dengan nilai kebaikan kaena hal itu lebih mudah dilakukan. Mereka mencuri, berbohong, menyiksa, membunuh, memulai peperangan, menjarah harta orang lain. Semua dilakukan hanya demi kepentingan mereka sendiri. Dan ini dilakukan dengan sengaja. Tidak ada lagi asas untuk mengutamakan nilai kebaikan dalam hidup mereka. Kejahatan ada untuk mengimbangi kebaikan yang ada di dunia ini.

Atau mungkin memang harus seperti itu. Seperti halnya setiap hal yang saling berpasangan dan bersandingan dalam hidup ini. Terang gelap, siang malam, atas bawah, berat ringan, laki-laki perempuan, besar kecil, baik buruk, benar salah. Satu ada karena yang lain ada. Satu ada untuk melengkapi yang lainnya. Seorang dikatakan baik karena ada yang buruk. Kita tak bisa mengenal terang jika tak tahu gelap.

Jika memang seperti itu maka tak akan ada bedanya kehidupan masa sekarang dengan masa-masa sebelumnya. Akan selalu ada kejahatan dalam dunia ini sebagaimanapun kita mencoba mengatasinya. Entah dengan atas nama agama, Tuhan, hati nurani, atau yang lainnya. Dan semua diputuskan pada hati manusia masing-masing, apakah kita akan memilih disisi kebaikan atau kegelapan. Dan saat itu terjadi, biarlah itu terjadi seperti apa adanya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Aku menulis ini setelah menghadiri acara peluncuran buku kembar buncing “Men Coblong” dan “Koplak” karya Oka Rusmini. Seorang penulis berasal dari Bali yang telah melahirkan banyak buku dan mendapatkan berbagai penghargaan. Di acara tersebut aku mendengarkan tentang bagaimana dua buah karya ini tercipta oleh Oka Rusmini, dari dua narasumber yang membedah dengan dalam kedua isi buku tersebut.

Di buku “Men Coblong” diceritakan tentang kumpulan kegelisahan seorang ibu yang hidup di Bali pada masa sekarang, dengan berbagai perkembangan yang begitu pesat dan menimbulkan banyak permasalahan. Banyak realita kehidupan dan perkembangan itu yang menimbulkan dampak bagi manusia yang hidup di era kemajuan ini. Beberapa hal yang mengusik ketenangan seorang ibu seperti rasa pesimis terhadap negara dan pemerintah yang bukannya mensejahterakan warganya justru memberikan banyak aturan yang berbelit-belit. Juga tentang “esensi menjadi manusia modern itu ditunjukkan dengan eksis di media sosial”, dan tentang korupsi yang tidak pernah habis di negeri ini.

Buku “Men Coblong” merupakan sebuah fiksi karena karakter yang ditulis disana tidak nyata, walaupun sebenarnya menggambarkan seorang Oka Rusmini tersebut. Di buku ini terdapat beberapa esai yang membahas tentang bagaimana kehidupan dan kegelisahan sehari-hari dari Men Coblong.

Buku kedua yang berjudul “Koplak” menceritakan tentang seorang kepala desa yang sudah ditinggal oleh istrinya yang tidak merasa nyaman lagi melihat realita dunia sekarang ini, dimana orang-orang berlomba-lomba mencari jabatan demi uang dan kekuasaan. Dia merindukan suasana desa seperti dahulu yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian tanpa banyak terusik dengan kenyataan dunia luar. Dia memiliki seorang putri bernama Ni Luh Putu Kemitir yang memiliki usaha makanan di kota. Namun karena kesenjangan yang begitu lebar antara dia yang masih terkesan kuno dengan anaknya yang telah mengenal dunia modern membuat banyak permasalahan dan kegelisahan muncul dalam diri Koplak.

Seiring berjalannya waktu, Koplak kembali bersaing memperebutkan posisi kepala desa dengan dua orang calon lainnya. Yang satu merupakan anak muda dengan pekerjaan yang sukses dan yang kedua seorang pria yang memiliki keahlian berbicara dan meyakinkan banyak orang-orang. Terheran-heran Koplak saat memikirkan bagaimana mungkin dua orang yang tidak pernah diam di desa tersebut mungkin bisa memimpin desanya. Sungguh kekuasaan dan uang mampu menggoda banyak orang untuk mendapatkannya.

Koplak melihat dunia sekarang penuh dengan kebohongan dan manipulasi. Banyak orang memalsukan diri hanya demi terlihat baik di mata orang lain. Menurut dia hidup itu sederhana, hidup di desa asal bisa makan saja sudah cukup. Tidak seperti orang sekarang yang mesti memiliki ini itu untuk dapat bahagia. Begitu juga dengan penampilan, sampai sekarang Koplak tidak masalah terlihat seperti orang kuno, dari pada memoles diri sedemikian rupa agar terlihat tampan. Koplak menjadi gambaran orang yang lurus, polos, bertolakbelakang dengan karakter orang jaman sekarang ini.

Setelah membaca kedua buku ini, aku tidak hanya terkesan denga isi bukunya, tapi juga dengan sosok Oka Rusmini. Beliau yang telah menulis sejak di bangku sekolah hingga menjadi seorang penulis dengan segudang prestasi seperti sekarang ini. Dan tips untuk menjadi seorang penulis ialah menulislah. Menulis saja dulu lalu dipikirkan isinya belakangan. Untuk menambah wawasan dalam menulis kita juga mesti banyak membaca. Salam literasi.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang bersama seorang sahabat setelah mengunjungi kemah yang diadakan oleh SMA ku dulu. Pukul dua belas malam kami melewati dinginnya Kintamani dan menyusuri jalanan kota Bangli yang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi, mungkin semua tengah berada dalam mimpinya masing-masing. Aku mengendarai sepeda motor dengan pelan sembari mengobrol bersama temanku unthk melepas kantuk dan rasa takut.

Sampai akhirnya, saat melewati jalan pulang yang lenggang di depanku muncul beberapa ekor anjing yang masih terjaga dan salah satunya menyebrang jalan dengan tiba-tiba. Aku yang begitu terkejut dengan kemunculan anjing tersebut tidak dapat melakukan apapun kecuali mengerem dengan sekuat tenaga. Sepersekian detik aku pikir akan terjatuh dan terluka hebat, namun malah sebaliknya. Aku melindas badan anjing tersebut dan bisa lewat dengan selamat. Namun nahasnya anjing yang ku tabrak tersebut tergolek tak berdaya di tengah jalan, darah mengalir deras dari tubuhnya. Aku meminggirkan kendaraanku dan memandangnya dari kejauhan. Aku merasa kasian sekali melihat kondisi anjing tersebut, walaupun untungng aku dan temanku selamat. Tak berapa lama kemudian mungkin karena mendengar suara jaduh dari luar, pemilik anjing tersebut keluar dari rumahnya dan mendekati anjingnya tersebut. Aku langsung menghampiri pemilik anjing dan mengucapkan permohonan maafku. Walaupun bapak itu sudah mengizinkanku pulang namun tetap saja aku sangat merasa bersalah pada anjing tersebut. Entah bagaimana kondisi anjing itu setelah ku tinggalkan, apakah mati atau terluka parah masih menjadi pertanyaan dalam perjalanku pulang.

Cerita berlanjut, berhari-hari aku tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku. Hingga beberapa hari kemudian, sore hari saat aku di perjalanan pulang bersama temanku aku melihat seekor anjing terluka di tengah jalan di dekat rumahku. Wajahnya penuh lumuran darah, matanya bengkak, badannya gemetar, jalannya terseok-seok, mungkin saja dia adalah korban tabrak lari dan belum dilihat juga oleh pemiliknya. Disana tergetar hatiku melihat tidak ada yang mau menolong anjing tersebut. Awalnya aku memperhatikan dari kejauhan dan tiba-tiba saat berjalan ke tepi anjing tersebut jatuh ke dalam gorong-gorong. Hanya aku yang melihat kejadian tersebut dan bergegas aku mencoba menolongnya. Aku berjalan menyusuri got yang gelap dan kotor, hingga aku dapatkan dan kuangkat anjing tersebut ke atas. Aku bawa anjing tersebut ke dalam rumahku lalu memandikannya. Di wajahnya terdapat luka robek dan darahnya terus mengalir. Setelah itu aku membawa anjing tersebut ke dokter hewan bersama temanku. Disana ia diberikan penvobatan dan setelah itu anjing tersebut ku bawa pulang kembali untuk ku beri makan sebelum akhirnya si pemilik anjing tersebut membawanya pulang ke rumahnya.

Satu hal yang aku pikirkan pada saat menolong anjing yang terluka di depan rumahku ialah karma. Adalah kejadian itu aku alami atau pertolongan itu harus ku lakukan untuk menebus karmaku karena telah menabrak anjing beberapa hari yang lalu. Dan aku percaya akan hal itu, sehingga aku bisa merasa lebih baik sekarang.

Karma ialah ajaran universal. Ia tidak dapat kita buktikan namun kita yakin akan kebenarannya. Seorang yang baik akan mendapat karma yang baik dan begitu pula sebaliknya. Pun di ajaran yang aku terima, setiap karma tidak mesti diterima segera setelah kita melakukan perbuatan. Karma bisa diterima saat ini, di masa depan, atau di kehiduoan yang akan datang. Atau mungkin saja apa yang kita terima saat ini merupakan karma dari yang kita lakukan di kehidupan sebelumnya.

Kita juga tidak mengetahui bagaimana hitung-hitungan karma sehingga kita tak boleh menghakimi perbuatan orang lain. Biarlah alam yang menunjukkan bagaimana karma itu berjalan. Sementara yang perlu kita lakukan ialah senantiasa berbuat kebaikan dan percaya bahwa hal baik pula yang akan datang.
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Saya Wirga Wirgunatha, hanya seorang manusia yang ingin membagikan pemikiran melalui sebuah tulisan. Memiliki ketertarikan terhadap alam dan kehidupan.

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Blog Archive

  • September 2019 (2)
  • Agustus 2019 (9)
  • Mei 2019 (4)
  • April 2019 (15)
  • Maret 2019 (28)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • November 2018 (6)
  • Agustus 2018 (1)
  • Juli 2018 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (4)
  • Oktober 2016 (2)
  • September 2016 (1)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (5)
  • Januari 2016 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Label Cloud

  • Artikel
  • Buku
  • Cerpen
  • Coretan
  • Puisi

Popular Posts

  • Cinta dan Sampah Plastik
    Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk ...
  • Puisi - Aku Mencari
    Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata Cerita sebagai pelipur derita Pada kutipan Pada sajak Pada pusi Namun tak juga ku...
  • Dengarkanlah - Reza A.A. Wattimena
    Secangkir teh. Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sop...
  • Cerpen - Siklus Waktu
    Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, ...
  • Pria Bali
    Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia...

Quotes

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates