• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Wirga Wirgunatha

Carpe Diem


Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, aku menikah dan tinggal bersama suamiku meninggalkan bapak ibu berdua dirumah. Mereka selalu mengunjungiku tiap akhir pekan, ikut membantuku merawat kedua anakku hingga sebesar sekarang. Aku dan suamiku dari dulu sibuk bekerja sampai malam hingga kewalahan mengurus keluarga, namun kedua orang tuaku selalu datang membantu.

Beberapa tahun terakhir kedua orang tuaku jarang mengunjungiku. Aku juga jarang bertemu mereka karena kesibukan di tempat kerja. Hal itu membuatku tidak mengetahui bahwa ibuku memiliki sakit Hipertensi sejak lama. Hingga akhirnya sebulan yang lalu ibuku terkena stroke. Nyawanya hampir tak terselamatkan karena terlambat ditangani. Setelah beberapa hari di rumah sakit ibu diizinkan pulang namun kondisinya buruk sekali. Ibu mengalami kelumpuhan total setengah badannya serta mengalami penurunan fungsi otak.
“Siapa kamu nak?”, begitu tanya ibu satu hari saat melihatku.
“Ini saya Nita bu, anakmu”, hatiku teriris menyadari ibu tak lagi mengenaliku.

Aku teringat pernyataan dokter tentang perdarahan di otak ibu yang sangat luas sehingga ada beberapa fungsi otaknya terganggu. Sementara itu sejak mengetahui kondisi ibu, bapakku seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia hanya diam terus memandang ibu, ada kesedihan yang dalam di matanya. Semenjak itu bapak tak banyak bicara, tak mau makan, bahkan tak mau beranjak dari sisi ibu. Gangguan depresi berat kata dokter.

Awalnya aku mengajak bapak ibu tinggal di rumah suamiku, tapi satu hari saja disana bapak sudah mengamuk ingin pulang. Dia ingin tinggal di rumahnya bersama ibu. Aku pasrah. Aku terpaksa mengikuti keinginan bapak. Aku juga mencarikan pembantu untuk mengurus bapak ibu, tapi percuma. Bapak memarahi pembantu itu hingga mengundurkan diri.

Semenjak itu akhirnya aku berhenti dari kerja dan memutuskan untuk merawat bapak ibu. Pagi siang malam aku menemani bapak ibu di rumah – rumah saat ku kecil dulu. Aku membantu membersihkan badan mereka, memberikan makan, juga mencarikan apapun yang diinginkan.

Semuanya terasa sangat berat. Aku harus mengurus banyak hal. Belum lagi saat setiap aku menghampiri, ibu sama sekali tidak mengenalku. Sementara bapak, hanya melihatku dengan tatapan kosong. Ada rasa sedih dan kesal dalam hatiku, kenapa ini semua terjadi dan apa yang harus ku lakukan.

Lama-kelamaan aku semakin emosional. Ibu dan bapakku menjadi bertingkah kekanak-kanakan. Ibu menolak semua jenis makanan yang kuberikan, merengek minta sesuatu. Sementara bapak, tiba-tiba buang air sembarangan dan merusak barang-barang di kamar. Semua ini membuatku frustasi.

Hari ini sebulan sudah ibu dan bapakku dengan kondisi seperti ini. Aku merasa sudah tak kuat lagi dan rasanya ingin menyerah saja. Aku menghempaskan tubuhku di kamar. Aku teringat inilah kamarku saat kecil dulu hingga akhirnya ikut ke rumah suamiku. Tak banyak hal berubah dari kamar ini, barang-barangnya semua utuh seperti saat ditinggalkan. Kamar ini juga bersih karena ibu bapak terus merapikannya, katanya supaya aku bisa tidur disini kalau suatu saat tiba-tiba mampir ke rumah.

Aku lihat banyak foto-foto kenangan terpajang di dinding. Foto-fotoku sejak kecil dulu. Foto saat ibu hamil, saat aku bayi, saat aku menangis, saat aku merangkak, saat belajar berjalan, saat belajar naik sepeda hingga foto-foto saat aku bersekolah. Di setiap foto itu juga terlihat foto ibu dan bapak yang tersenyum lebar seakan memperlihatkan itulah anak yang paling mereka banggakan.

Lama aku memandangi semua foto itu, berbagai memori terlintas di pikiranku, dan seketika air mata mengalir deras membasahi pipiku. Aku menyadari betapa sayangnya kedua orang tuaku padaku. Mereka yang selalu mengutamakan kebahagiaanku dan tak kenal lelah mengurusku.

Aku sadar perjuangan mereka mengurusku jauh dibanding apa yang sudah kuberi pada mereka, bahkan sampai saat ini. Dulu waktu kecil, aku juga begitu menyusahkan dan tak bisa mengingat apa saja yang yang diberikan kedua orang tuaku. Namun mereka terus merawatku, tanpa pamrih, tanpa imbalan, hanya agar aku mandiri dan bahagia suatu saat nanti. Bertahun-tahun hingga aku mengerti akan hidup ini.

Sekarang mungkin siklus berganti, waktu berputar, sekarang merekalah yang tak lagi mengingatku. Namun apa yang ku lakukan? Aku malah bersikap arogan, tak peduli, aku malah tak membalas semua kasih sayang kedua orang tuaku. Aku sungguh menyesal. Aku ingin memberikan yang terbaik bagi bapak ibuku semasih aku bisa melakukannya.

Akhirnya aku bangkit, beranjak menuju kamar bapak ibu dan memeluk kedua orang tuaku dengan penuh kasih sayang. Setidaknya aku ingin selalu menemani mereka dan tetap melihat senyuman di wajah mereka. Walau ibuku sudah tak lagi mengingatku dan bapak memandangku dengan tatapan kosong, itu sudah tak apa bagiku. Aku akan merawat kedua orang tuaku, membalas semua kasih sayang mereka padaku. Hingga suatu hari, waktu mungkin kan membawa mereka pergi.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Satu hari aku pergi ke kota untuk mengunjungi beberapa teman yang sudah lama tidak bersua. Aku meluangkan waktu, mengesampingkan lelah untuk sesaat. Banyaknya kesibukan belakangan ini membuatku jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama mereka. Dulu kami biasa kemana bersama, bercerita tentang kesibukan masing-masing atau hal-hal receh yang kami temui di jalan. Hingga akhirnya sekarang kami memiliki kehidupan masing-masing dan semakin jarang bertemu.

Awalnya aku berniat bertemu mereka untuk saling bertukar cerita, berbagi rasa. Aku mencoba bertanya cerita yang mungkin terlewatkan olehku. Aku ingin tahu tentang kehidupannya sekarang, hal baik dan buruk yang ia lalui dan tentang apapun. Dulu biasanya kami sering bercerita tentang hari-hari yang ia lalui, tentang orang menyebalkan yang ia temui, tentang keluarganya, tentang pasangannya yang mulai menyebalkan, hingga tentang game, komik yang kami sukai, film dan hal lainnya. Dengan satu teman lainnya pula kami senang berbincang tentang wanita, tentang beberapa tokoh dunia, tentang surga neraka, tentang kehidupan. Dan semua diakhiri dengan tertawa bersama.

Namun semua ekspektasiku berubah setelah bertemu dengan mereka. Kami berkumpul, namun mereka semua sibuk dengan gadget mereka masing-masing, dengan dunia mayanya. Aku merasa bingung, di saat ada orang nyata di sekitar kita mengapa kita malah sibuk dengan dunia sendiri. Padahal kita juga dalam kondisi jarang bertemu. Sekali kita mengobrol, mereka malah mengobrol tentang orang lain, tentang aib orang lain. Atau  sekali mengobrol tentang kesusahan orang lain lalu berpura peduli dan tentang kebahagiaan orang lain lalu berpura senang juga. Miris. Bukan itu yang aku ingin dengar dari kalian, aku hanya ingin mendengarkan cerita tentang kalian, tentang hari-hari kalian. Tertawa bersama tentang hal-hal receh sekalipun.

Kemudian aku berpikir, ya waktu sudah berubah tapi apakah itu harus merubah diri kita pula. Aku mungkin tak bisa berharap mereka tetap menjadi orang yang sama. Tawa dahulu bisa jadi asing sekarang. Aku merasa semakin jauh dengan diri mereka, entah karena jalan yang kita pilih telah berbeda atau karena mereka memasang tameng di sekitar diri mereka. Keduanya sama. Mungkin mereka lebih suka terlihat baik di luar padahal kering di dalam.

Suatu hari aku pernah menulis, “hubungan itu sama seperti tanah, saat dia kering maka akan mudah pecah, retak dan terpisah. Berikan sedikit air padanya maka ia akan tetap menyatu”. Air itu bisa ibarat kasih sayang, tawa, canda, perasaan saling mengasihi. Dan sekarang, aku merasa air diantara kami sudah berkurang, hubungan ini mulai mengering.

Akhirnya aku mencoba menyamankan diriku dengan pribadi mereka yang sekarang ini. Yang hanya ingin terlihat baiknya saja, yang tak ingin diri mereka dimasuki lebih dalam lagi. Hal ini membuatku merenung, apakah ini karena mereka tak mengganggapku teman seperti yang sebelumnya, atau memang kehidupan orang sekarang ini yang membuat kita tak ingin mengenal orang lebih dalam. Kita hanya mendengarkan cerita orang dengan sekadar, menanggapi seadanya tanpa mencoba memahami lebih dalam.

Jika memang waktu mampu merubah seseorang dan semua kemesraan dahulu telah menjadi semu. Biarlah mereka sadar, bahwa ada beberapa orang yang sangat peduli pada mereka dan ingin mendengarkan ceritanya dengan sungguh. Dan semoga mereka semua berbahagia.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Beberapa hari yang lalu ada salah satu saudara jauhku masuk rumah sakit. Aku tidak terlalu mengenalnya dengan baik namun karena masih keluarga besar jadi aku memutuskan untuk menjenguknya (terlebih karena aku bekerja di rumah sakit yang sama juga). Sampai di sana aku bertemu dan mengobrol dengannya dan beberapa keluarga lain yang menjenguk juga. Aku menunjukkan rasa peduli ku sepenuhnya agar ia segera sehat kembali dan bisa beraktifitas seperti biasa.

Beberapa hari yang lalu juga salah satu teman baikku berulang tahun. Di salah satu chat grup kami mulai ramai untuk memberikan ucapan, ada yang aneh-aneh dan ada yang sekadarnya saja. Sementara aku yang waktu itu kebetulan bertemu dengannya, memberikan ucapan langsung setulus hatiku berharap agar dia bahagia dan dilancarkan dalam kehidupannya. Sementara kalau aku tak bisa mengucapkan secara langsung, aku akan mengucapkan lewat pesan pribadi dengan penuh kepedulian.

Dua hal di atas adalah contoh tentang kepedulian yang ingin ku sampaikan disini. Mungkin saja benar atau tidak, tapi aku lihat banyak hal yang kita lakukan bukan atas dasar kepedulian yang murni melainkan hanyalah formalitas semata. Saat ada yang bersedih, kita mengucapkan rasa duka cita yang seadanya, hanya mengikuti keramaian saja. Bukannya mengulurkan tangan secara langsung, mendengar duka orang tersebut dan menunjukkan rasa peduli kita.

Bahkan ada beberapa orang hanya menunjukkan pada media sosial bahwa dia peduli pada kesusahan orang lain, hanya supaya banyak orang melihatnya murah hati. Teman kita tidak memerlukan semua ucapan ramai di grup yang tanpa makna tersebut. Semuanya terlihat seolah banyak yang peduli padanya tapi sebenarnya tak ada apa. Dia tetap melewati luka itu seorang diri. Yang dia perlukan ialah bahu untuk bersandar, senyum ramah kita yang mampu membuatnya bangkit kembali.

Tidak hanya itu, rasa peduli juga memudar saat melihat orang lain bahagia. Misalkan saja di hari ulang tahun atau hari pernikahan orang lain. Ratusan bahkan ribuan ucapan selamat datang namun semuanya tanpa makna, hanya rutinitas semata. Banyak orang membuat vidio, disebarkan ke dunia maya, hanya untuk menampakkan bahwa dirinya bahagia. Namun sebenarnya tak ada yang benar-benar peduli, hanya begitu saja.

Terkadang, teman kita tak peduli dengan semua ucapan atau apalah itu di dunia maya. Ia hanya ingin kita berada di sampingnya di saat bahagianya. Ikut mendoakan dengan tulus dan yang terpenting untuk ikut merasa bahagia. Karena apalah arti semua ucapan itu jika tak ada raga nyata yang diajak untuk berbagi kebahagiaan.

Mungkin saja memang pada masa sekarang ini, rasa peduli sudah menipis, mungkin aku juga seperti itu. Tapi aku selalu berusaha untuk menunjukkan rasa peduli yang dalam, yang memang karena aku peduli dan bukan atas dasar lainnya. Dan aku harap akan banyak pula yang memiliki rasa peduli terhadapku.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kita menarik orang yang memiliki kesamaan seperti kita di dalam hidup ini. Tanpa disadari, kita akan mencari teman yang memiliki kesamaan baik sifat, hobi, kesukaan atau yang lainnya. Kita akan merasa nyaman apabila berada di lingkungan yang memiliki kemiripan seperti diri kita.


Ibu saya pernah mengucapkan bahwa kita akan mendapatkan orang/ pasangan yang seperti diri kita. Misalnya kita orang yang baik, ramah maka akan mendapatkan orang yang serupa. Apabila kita orang yang bertato, merokok, maka pasangan kitapun tidak akan jauh dari hal tersebut. Begitulah cara hidup menerapkan prinsip tarik-menariknya.

Jadi, untuk mendapatkan seseorang yang baik maka kita harus menjadi orang yang baik pula.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“Perjalanan ribuan kilometer dimulai dari satu langkah kecil”, begitu katamu sambil menirukan gaya salah satu filsuf terkenal asal Cina itu. Kata-kata itu terus kau ucap tiap kali kita bertemu saat kau istirahat siang. Sedang aku hanya bisa setengah menggangguk karena tak yakin benar dengan kata bijak itu. Toh dari dulu aku sudah berusaha sekeras mungkin namun tak pernah ada hasilnya. Semua jenis pekerjaan sudah aku jalani, buruh, bengkel, sol sepatu, sales barang elektronik hingga pegawai toko. Tak ada yang benar-benar cocok dan bisa membuatku hidup dengan bahagia.

Sementara kau masih juga semangat sabagai pelayan rumah makan kecil. Dengan uang yang tak seberapa padahal kau kerja dari pagi hingga malam. “Bagaimana kita bisa bahagia dengan  hidup seperti sekarang? Hidup ini tak adil, hidup hanya untuk orang kaya. Kita orang miskin tak layak untuk hidup”, gerutuku. Namun yang bisa kau lakukan hanya tersenyum sambil memakan cokelat murahan yang ku belikan di pinggir jalan tadi. Bingung aku dengan sikapmu yang terlihat begitu bahagia hanya dengan sebatang cokelat.

Hampir tiap kali kita bertemu kulewati dengan mengeluhkan tentang hidup ini, tentang tak adilnya semua ini. Dan kau selalu saja menanggapinya dengan senyuman, seolah senyum bisa menyelesaikan semua masalah. Seolah senyum bisa kau pakai untuk membeli semua barang yang kau mau.

Bulan lalu saat kau menerima gaji, kau memaksa untuk mentraktirku di restoran yang lumayan mahal. Walau ku tolak tetap saja kau paksa. “Sudahlah, uang dari mana juga makan di tempat seperti ini. Lihat saja pakaian kita pun tak cocok untuk tempat ini”, kataku kesal walau akhirnya aku menurut saja. Awalnya kau terlihat sangat bahagia, memang makanan disini sangat enak. Aku pun merasa ini makanan terenak yang pernah ku makan selama hidup.

Senyummu terlihat sangat puas sebelum akhirnya kau meneteskan air mata secara tiba-tiba. Kesedihan terlihat sangat dalam disana. Awalnya ku kira karena harga makanan yang sangat mahal, namun tidak. Matamu tertuju pada banyaknya makanan yang tersisa di piring-piring orang kaya yang juga makan disana. “Mereka membuang makanan mahal dengan gampangnya sementara banyak orang di luar sana yang untuk makan saja susah”, begitu tangismu kala itu. Aku semakin muak saja dengan kehidupan ini, orang kaya bertindak bebas semaunya sedangkan kita mengemis-ngemis untuk mencari sesuap nasi saja. Namun kejadian saat itu tak membuatmu membenci kehidupan, kau malah menjadi orang yang bekerja lebih keras lagi, katamu supaya bisa menjadi kaya dan menolong yang miskin. “Ah mana ada orang kaya yang berpikiran seperti itu di jaman sekarang”, kataku skeptis.

Hari terus berganti. Kau terus bekerja keras sementara aku hanya bermalas-malas. Hingga suatu hari aku tergoda untuk menjambret seorang ibu yang membawa tas mahal karena tak punya uang lagi untuk makan. Sialnya aku bisa tertangkap hingga digebuki oleh warga. Saat itu kau datang menghentikan semuanya, kau menolongku dari masa yang penuh amarah. Bahkan uang yang selama ini kau tabung habis sia-sia untuk biaya pengobatanku di rumah sakit. Tapi tetap saja kau tidak tampak sedih, malah kau tersenyum untuk menguatkanku.

“Kenapa kau masih mau menolong orang gagal sepertiku? Aku sangat membenci kehidupan ini.”, kataku penuh sesal. “Tidak ada yang gagal darimu, setiap orang berhak merasa kecewa dengan kehidupan. Melihat hidup tidak adil, yang kaya makin kaya dan yang miskin tersiksa tidaklah salah”. Ada jeda sejenak sebelum kau lanjutkan, “ Aku selalu bersamamu karena aku ingin menyadarkanmu bahwa dalam hidup, kita tak bisa mengendalikan semuanya. Untuk bahagia, kita bisa merubah bagaimana cara kita memandang hidup ini yaitu dengan lebih banyak bersyukur’. Aku masih setengah setuju, ”Tapi apa yang bisa disyukuri dari kita yang miskin ini?”. “Baiklah, coba kau lihat disekeliling kita, masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari kita. Banyak yang tidak bisa makan, tidak punya keluarga, tidak bisa sekolah, sakit-sakitan, atau yang buat hidup saja susah. Sedang kita syukur masih punya orang yang peduli pada kita. Makanya kita jangan terlalu sering melihat ke atas, itu membuat kecewa. Sesekali lihatlah ke bawah, maka kita bisa bersyukur”, jelasmu lagi tanpa ragu.

Ada perasaan yang aneh menjalar di sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sangat terharu, aku terlalu sering kecewa pada kondisiku, hingga tak pernah bersyukur atas apa yang ku miliki. Terutama bersyukur karena memilikimu. Aku memelukmu erat berterima kasih atas semuanya. Hari ini aku terlahir kembali. Keluar dari rumah sakit memulai satu langkah dari ribuan kilometer yang akan ku jalani.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“When we lose a loved one here on earth, we gain an angel in heaven that watches over us.”

Namaku Lira, usiaku 27 tahun. Aku baru putus dengan pacarku yang sudah kujalani selama sembilan tahun. Di saat kami memutuskan akan hidup bersama, apa daya perpisahan yang kami temui. Perbedaan prinsip membuat runtuhnya jalinan cinta yang telah kami bangun selama ini. Tak berdaya aku tenggelam dalam kesedihan yang panjang.

Dengan hati yang rapuh aku tetap melanjutkan kehidupanku. Aku masih bekerja seperti biasa sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit besar di kotaku. Sudah sebulan lebih sejak perpisahanku dengan pacarku namun kesedihan masih menyelimutiku.

Pada siang hari saat aku pulang bekerja, aku menangis di sebuah pojokan taman di rumah sakit dan saat itulah aku dipertemukan dengan lelaki itu.
“Hei seorang gadis tidak boleh menangis, apalagi di tempat umum”, goda seorang lelaki tiba-tiba menghampiriku.
Aku cuek tidak menghiraukan lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Tubuhnya kurus tinggi tersenyum kepadaku.
“Eh kok tambah keras sih nangisnya, nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu sama orang-orang”,  lelaki itu sudah duduk di sebelahku.
Aku masih diam saja tak peduli. Lelaki itu hanya tersenyum dan itu terlihat menyebalkan bagiku.
“Apa maumu?”, kataku kesal karena ada orang mengusik kesendirianku.
“Aku cuma sedang lewat saja di lorong ini. Aku tidak suka liat orang bersedih, apalagi itu perempuan”, kata lelaki itu sambil menggaruk kepalanya.
“Yasudah aku sudah selesai nangis. Sekarang pergilah”, jawabku dengan lebih ramah karena ku pikir lelaki ini tidak terlalu mencurigakan. Saat ku perhatikan wajahnya ternyata meyakinkan dan senyumnya meneduhkan.
“Nah begitu dong. Sebelumnya perkenalkan namaku Ariel”, lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman.
“Aku Lira”, jawabku singkat.
Lelaki itu pergi berlalu meninggalkanku. Aku tak terlalu memperhatikan lelaki itu namun sepertinya usianya sebaya denganku. Aku masih trauma sehingga menjaga jarak dengan lelaki manapun. Dulu lelaki yang paling kusayangi dengan teganya meninggalkanku.

Seminggu kemudian, setelah pulang bekerja aku kembali duduk di pojokan taman rumah sakit. Tempat ini memang paling sepi dibanding taman lainnya jadi aku bisa leluasa menyendiri. Aku teringat kenangan dulu saat masih bersama pacarku. Perasaan sedih muncul saat mengetahui dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan lainnya.
“Kenapa menyendiri disini lagi mbak?”, lelaki itu tiba-tiba muncul lagi entah dari mana asalnya.
“Mbak mbak, namaku Lira”, dengusku kesal sambil mencoba menghapus air mataku.
“Sini aku temenin biar ngga nangis. Ini aku kasi permen”, lelaki itu mengeluarkan permen dari dalam tas dan tersenyum kepadaku.
Aku menerima permen pemerian Ariel. Membiarkan lelaki itu duduk di sebelahku. Setelah ku perhatikan lebih lekat, lelaki itu terlihat manis juga dengan senyumnya itu. Namun dia tampak seperti sangat kelelahan, matanya redup, tulang pipinya menonjol, dan tubuhnya sangat kurus.
Kami tenggelam dalam perbincangan panjang. Tetang hal-hal tak penting yang ada di sekitar. Seperti apa yang diobrolkan oleh semut-semut yang berpapasan, kenapa tembok rumah sakit warnanya hijau, dan hal tak penting lainnya. Dua jam berlalu dengan cepat dan sepertinya aku terlupa dengan kesedihanku. Setelah itu kami berpisah setelah aku mengatakan harus segera pulang.

Seminggu kemudian kami bertemu lagi. Saat ku pulang kerja, aku duduk lagi di tempat yang sama dan beberapa menit kemudian lelaki itu sudah muncul juga.
“Wah kebetulan sekali ya kita bertemu lagi disini”, sapa lelaki itu dari kejauhan.
“Ah paling kamu sengaja kesini pengen ketemu aku”, jawabku dengan setengah mengabaikannya.
“Tapi kamu tidak sedang menangis, jadi aku pergi saja ah”, lelaki itu menghampiriku lebih dekat lagi.
“Eh jadi kamu berharap aku menangis terus gitu”, dengusku kesal.
Sisa hari itu kami habiskan dengan obrolan tak penting lagi. Kami juga saling membuka diri bercerita tentang kehidupan masing-masing. Aku baru tau dia bekerja di sebuah yayasan peduli kanker di kotaku. Makanya dia membawa banyak permen untuk dibagikan kepada anak-anak di sana. Dia juga terbiasa menghibur orang-orang yang bersedih makanya aku merasa tenang saat bersamanya. Saat itu aku mulai menyadari bahwa aku mulai terbiasa dengannya.

Begitulah pertemuan kami terus berlanjut seminggu sekali sepulang aku bekerja. Kami semakin mengenal satu sama lain. Dia selalu membuat obrolan yang mengasyikkan sehingga aku makin bisa melupakan sakit hatiku. Yang membuatku nyaman juga, dia tidak pernah mengorek tentang masa laluku, menghakimiku. Dia menganggap bahwa tiap orang memiliki masa lalu dan itu adalah urusan pribadi orang itu. “Yang lebih penting adalah bagaimana menyambut maas depan”, begitu yang sering dia katakan.

Waktu semakin berlalu dan kami semakit dekat. Walaupun begitu tapi dia tak pernah mengutarakan isi hatinya. Aku juga saat itu takut merasa sakit hati lagi, tapi aku sangat nyaman saat bersamanya. Hingga akhirnya pertemuan ke sekian kali aku menyampaikannya semuanya.
“Ariel, aku menyukaimu”, aku akhirnya mengucapkan hal yang terpendam sekian lama.
“Jangan Lira, kamu akan menyesal nanti pada akhirnya”, jawab lelaki itu masih dengan tersenyum, tapi terlihat ada kesedihan di matanya.
“Kenapa begitu?”, selaku tidak terima.
“Ada satu hal rahasia yang tidak pernah aku sampaikan dari dulu”, lelaki itu menunduk menutupi sesuatu.
“Aku sudah tahu semuanya Ariel”, aku diam sejenak. “Aku penasaran kenapa kamu ke rumah sakit tiap minggu lalu satu hari aku mengikutimu. Saat itu aku tahu kamu rutin ke bagian penyakit kanker terpadu untuk memeriksakan penyakitmu. Aku bertanya pada seorang perawat disana dan dikatakan kamu memiliki kanker otak stadium 4”, lanjutku sambil berusaha tegar.
Lelaki itu memperhatikanku dengan sungguh-sungguh, “Wah aku tidak menyangka kalau kamu akan mengetahuinya”.
“Aku sempat menangis lama saat tahu tentang hal itu. Lagi-lagi saat aku mencoba bersama seseorang, saat itu pula aku mendapat kenyataan bahwa kita tak bisa bersama. Tapi aku sudah putuskan. Apapun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu. Kita akan melawan penyakitmu bersama”, aku mencoba tegar, menghapus air yang mulai muncul dari kedua mataku.
“Terima kasih Lira, tak pernah ku temui orang yang begitu tulus sepertimu”, lelaki itu tersenyum padaku, memelukku erat. Aku merasakan cinta yang begitu kuat.

Beberapa bulan berlalu akhirnya kami memutuskan menikah. Aku senang saat mengetahui perkembangan kesehatan Ariel mulai membaik. Dokter pernah memvonis bahwa usianya tidak akan lebih dari 6 bulan lagi, tapi dokter pun bisa salah. Kemoterapi, radiasi, semua tak bisa mengalahkan semangat dan cinta yang kami miliki.

Setiap hari kami lalui hari dengan bahagia. Aku ikut mengantar setiap kali Ariel memeriksakan kesehatannya. Beberapa kali aku juga menemani Ariel di yayasan peduli kanker, berbagi keceriaan bersama anak-anak disana. Ariel mengajarkanku banyak hal, bahwa penderitaan yang kita alami bisa kita jadikan kekuatan untuk membantu orang lain lebih banyak lagi. Aku sangat bahagia bisa bertemu orang sepertinya, dia seperti malaikat bagiku.

Hingga akhirnya di satu malam yang biasa, kondisi Ariel memburuk. Penyakitnya sudah menyebar ke seluruh tubuhnya dan dia sudah pada batasnya. Semua pengobatan sudah tidak bisa lagi menolongnya.
Saat itu aku sedang mengandung anak kami yang pertama dan Ariel pergi meninggalkan ku sendiri. Awalnya aku sangat bersedih harus ditinggalkan sendiri lagi, namun semuanya sudah tak apa bagiku. Aku tidak menyesal pernah mencintai dan hidup dengannya walau untuk beberapa saat.
Aku yakin dia akan selalu mengawasiku dan anak kami yang ada di kandunganku dari atas sana.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Saya Wirga Wirgunatha, hanya seorang manusia yang ingin membagikan pemikiran melalui sebuah tulisan. Memiliki ketertarikan terhadap alam dan kehidupan.

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Blog Archive

  • September 2019 (2)
  • Agustus 2019 (9)
  • Mei 2019 (4)
  • April 2019 (15)
  • Maret 2019 (28)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • November 2018 (6)
  • Agustus 2018 (1)
  • Juli 2018 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (4)
  • Oktober 2016 (2)
  • September 2016 (1)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (5)
  • Januari 2016 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Label Cloud

  • Artikel
  • Buku
  • Cerpen
  • Coretan
  • Puisi

Popular Posts

  • Cinta dan Sampah Plastik
    Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk ...
  • Puisi - Aku Mencari
    Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata Cerita sebagai pelipur derita Pada kutipan Pada sajak Pada pusi Namun tak juga ku...
  • Dengarkanlah - Reza A.A. Wattimena
    Secangkir teh. Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sop...
  • Cerpen - Siklus Waktu
    Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, ...
  • Pria Bali
    Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia...

Quotes

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates