Cerpen - Single Step
“Perjalanan ribuan kilometer
dimulai dari satu langkah kecil”, begitu katamu sambil menirukan gaya salah
satu filsuf terkenal asal Cina itu. Kata-kata itu terus kau ucap tiap kali kita
bertemu saat kau istirahat siang. Sedang aku hanya bisa setengah menggangguk
karena tak yakin benar dengan kata bijak itu. Toh dari dulu aku sudah berusaha
sekeras mungkin namun tak pernah ada hasilnya. Semua jenis pekerjaan sudah aku
jalani, buruh, bengkel, sol sepatu, sales barang elektronik hingga pegawai
toko. Tak ada yang benar-benar cocok dan bisa membuatku hidup dengan bahagia.
Sementara kau masih juga semangat
sabagai pelayan rumah makan kecil. Dengan uang yang tak seberapa padahal kau
kerja dari pagi hingga malam. “Bagaimana kita bisa bahagia dengan hidup seperti sekarang? Hidup ini tak adil,
hidup hanya untuk orang kaya. Kita orang miskin tak layak untuk hidup”,
gerutuku. Namun yang bisa kau lakukan hanya tersenyum sambil memakan cokelat
murahan yang ku belikan di pinggir jalan tadi. Bingung aku dengan sikapmu yang
terlihat begitu bahagia hanya dengan sebatang cokelat.
Hampir tiap kali kita bertemu kulewati
dengan mengeluhkan tentang hidup ini, tentang tak adilnya semua ini. Dan kau
selalu saja menanggapinya dengan senyuman, seolah senyum bisa menyelesaikan
semua masalah. Seolah senyum bisa kau pakai untuk membeli semua barang yang kau
mau.
Bulan lalu saat kau menerima gaji,
kau memaksa untuk mentraktirku di restoran yang lumayan mahal. Walau ku tolak
tetap saja kau paksa. “Sudahlah, uang dari mana juga makan di tempat seperti
ini. Lihat saja pakaian kita pun tak cocok untuk tempat ini”, kataku kesal
walau akhirnya aku menurut saja. Awalnya kau terlihat sangat bahagia, memang
makanan disini sangat enak. Aku pun merasa ini makanan terenak yang pernah ku
makan selama hidup.
Senyummu terlihat sangat puas
sebelum akhirnya kau meneteskan air mata secara tiba-tiba. Kesedihan terlihat
sangat dalam disana. Awalnya ku kira karena harga makanan yang sangat mahal,
namun tidak. Matamu tertuju pada banyaknya makanan yang tersisa di
piring-piring orang kaya yang juga makan disana. “Mereka membuang makanan mahal
dengan gampangnya sementara banyak orang di luar sana yang untuk makan saja
susah”, begitu tangismu kala itu. Aku semakin muak saja dengan kehidupan ini, orang
kaya bertindak bebas semaunya sedangkan kita mengemis-ngemis untuk mencari
sesuap nasi saja. Namun kejadian saat itu tak membuatmu membenci kehidupan, kau
malah menjadi orang yang bekerja lebih keras lagi, katamu supaya bisa menjadi
kaya dan menolong yang miskin. “Ah mana ada orang kaya yang berpikiran seperti
itu di jaman sekarang”, kataku skeptis.
Hari terus berganti. Kau terus
bekerja keras sementara aku hanya bermalas-malas. Hingga suatu hari aku tergoda
untuk menjambret seorang ibu yang membawa tas mahal karena tak punya uang lagi
untuk makan. Sialnya aku bisa tertangkap hingga digebuki oleh warga. Saat itu kau
datang menghentikan semuanya, kau menolongku dari masa yang penuh amarah.
Bahkan uang yang selama ini kau tabung habis sia-sia untuk biaya pengobatanku
di rumah sakit. Tapi tetap saja kau tidak tampak sedih, malah kau tersenyum
untuk menguatkanku.
“Kenapa kau masih mau menolong
orang gagal sepertiku? Aku sangat membenci kehidupan ini.”, kataku penuh sesal.
“Tidak ada yang gagal darimu, setiap orang berhak merasa kecewa dengan
kehidupan. Melihat hidup tidak adil, yang kaya makin kaya dan yang miskin
tersiksa tidaklah salah”. Ada jeda sejenak sebelum kau lanjutkan, “ Aku selalu
bersamamu karena aku ingin menyadarkanmu bahwa dalam hidup, kita tak bisa
mengendalikan semuanya. Untuk bahagia, kita bisa merubah bagaimana cara kita
memandang hidup ini yaitu dengan lebih banyak bersyukur’. Aku masih setengah
setuju, ”Tapi apa yang bisa disyukuri dari kita yang miskin ini?”. “Baiklah,
coba kau lihat disekeliling kita, masih banyak orang yang lebih kurang
beruntung dari kita. Banyak yang tidak bisa makan, tidak punya keluarga, tidak
bisa sekolah, sakit-sakitan, atau yang buat hidup saja susah. Sedang kita
syukur masih punya orang yang peduli pada kita. Makanya kita jangan terlalu
sering melihat ke atas, itu membuat kecewa. Sesekali lihatlah ke bawah, maka
kita bisa bersyukur”, jelasmu lagi tanpa ragu.
Ada perasaan yang aneh menjalar
di sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sangat terharu, aku terlalu sering
kecewa pada kondisiku, hingga tak pernah bersyukur atas apa yang ku miliki.
Terutama bersyukur karena memilikimu. Aku memelukmu erat berterima kasih atas
semuanya. Hari ini aku terlahir kembali. Keluar dari rumah sakit memulai satu
langkah dari ribuan kilometer yang akan ku jalani.
0 comments