Cerpen - Single Step

by - November 12, 2018


“Perjalanan ribuan kilometer dimulai dari satu langkah kecil”, begitu katamu sambil menirukan gaya salah satu filsuf terkenal asal Cina itu. Kata-kata itu terus kau ucap tiap kali kita bertemu saat kau istirahat siang. Sedang aku hanya bisa setengah menggangguk karena tak yakin benar dengan kata bijak itu. Toh dari dulu aku sudah berusaha sekeras mungkin namun tak pernah ada hasilnya. Semua jenis pekerjaan sudah aku jalani, buruh, bengkel, sol sepatu, sales barang elektronik hingga pegawai toko. Tak ada yang benar-benar cocok dan bisa membuatku hidup dengan bahagia.

Sementara kau masih juga semangat sabagai pelayan rumah makan kecil. Dengan uang yang tak seberapa padahal kau kerja dari pagi hingga malam. “Bagaimana kita bisa bahagia dengan  hidup seperti sekarang? Hidup ini tak adil, hidup hanya untuk orang kaya. Kita orang miskin tak layak untuk hidup”, gerutuku. Namun yang bisa kau lakukan hanya tersenyum sambil memakan cokelat murahan yang ku belikan di pinggir jalan tadi. Bingung aku dengan sikapmu yang terlihat begitu bahagia hanya dengan sebatang cokelat.

Hampir tiap kali kita bertemu kulewati dengan mengeluhkan tentang hidup ini, tentang tak adilnya semua ini. Dan kau selalu saja menanggapinya dengan senyuman, seolah senyum bisa menyelesaikan semua masalah. Seolah senyum bisa kau pakai untuk membeli semua barang yang kau mau.

Bulan lalu saat kau menerima gaji, kau memaksa untuk mentraktirku di restoran yang lumayan mahal. Walau ku tolak tetap saja kau paksa. “Sudahlah, uang dari mana juga makan di tempat seperti ini. Lihat saja pakaian kita pun tak cocok untuk tempat ini”, kataku kesal walau akhirnya aku menurut saja. Awalnya kau terlihat sangat bahagia, memang makanan disini sangat enak. Aku pun merasa ini makanan terenak yang pernah ku makan selama hidup.

Senyummu terlihat sangat puas sebelum akhirnya kau meneteskan air mata secara tiba-tiba. Kesedihan terlihat sangat dalam disana. Awalnya ku kira karena harga makanan yang sangat mahal, namun tidak. Matamu tertuju pada banyaknya makanan yang tersisa di piring-piring orang kaya yang juga makan disana. “Mereka membuang makanan mahal dengan gampangnya sementara banyak orang di luar sana yang untuk makan saja susah”, begitu tangismu kala itu. Aku semakin muak saja dengan kehidupan ini, orang kaya bertindak bebas semaunya sedangkan kita mengemis-ngemis untuk mencari sesuap nasi saja. Namun kejadian saat itu tak membuatmu membenci kehidupan, kau malah menjadi orang yang bekerja lebih keras lagi, katamu supaya bisa menjadi kaya dan menolong yang miskin. “Ah mana ada orang kaya yang berpikiran seperti itu di jaman sekarang”, kataku skeptis.

Hari terus berganti. Kau terus bekerja keras sementara aku hanya bermalas-malas. Hingga suatu hari aku tergoda untuk menjambret seorang ibu yang membawa tas mahal karena tak punya uang lagi untuk makan. Sialnya aku bisa tertangkap hingga digebuki oleh warga. Saat itu kau datang menghentikan semuanya, kau menolongku dari masa yang penuh amarah. Bahkan uang yang selama ini kau tabung habis sia-sia untuk biaya pengobatanku di rumah sakit. Tapi tetap saja kau tidak tampak sedih, malah kau tersenyum untuk menguatkanku.

“Kenapa kau masih mau menolong orang gagal sepertiku? Aku sangat membenci kehidupan ini.”, kataku penuh sesal. “Tidak ada yang gagal darimu, setiap orang berhak merasa kecewa dengan kehidupan. Melihat hidup tidak adil, yang kaya makin kaya dan yang miskin tersiksa tidaklah salah”. Ada jeda sejenak sebelum kau lanjutkan, “ Aku selalu bersamamu karena aku ingin menyadarkanmu bahwa dalam hidup, kita tak bisa mengendalikan semuanya. Untuk bahagia, kita bisa merubah bagaimana cara kita memandang hidup ini yaitu dengan lebih banyak bersyukur’. Aku masih setengah setuju, ”Tapi apa yang bisa disyukuri dari kita yang miskin ini?”. “Baiklah, coba kau lihat disekeliling kita, masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari kita. Banyak yang tidak bisa makan, tidak punya keluarga, tidak bisa sekolah, sakit-sakitan, atau yang buat hidup saja susah. Sedang kita syukur masih punya orang yang peduli pada kita. Makanya kita jangan terlalu sering melihat ke atas, itu membuat kecewa. Sesekali lihatlah ke bawah, maka kita bisa bersyukur”, jelasmu lagi tanpa ragu.

Ada perasaan yang aneh menjalar di sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sangat terharu, aku terlalu sering kecewa pada kondisiku, hingga tak pernah bersyukur atas apa yang ku miliki. Terutama bersyukur karena memilikimu. Aku memelukmu erat berterima kasih atas semuanya. Hari ini aku terlahir kembali. Keluar dari rumah sakit memulai satu langkah dari ribuan kilometer yang akan ku jalani.

You May Also Like

0 comments