Cerpen - Angel

by - November 12, 2018


“When we lose a loved one here on earth, we gain an angel in heaven that watches over us.”

Namaku Lira, usiaku 27 tahun. Aku baru putus dengan pacarku yang sudah kujalani selama sembilan tahun. Di saat kami memutuskan akan hidup bersama, apa daya perpisahan yang kami temui. Perbedaan prinsip membuat runtuhnya jalinan cinta yang telah kami bangun selama ini. Tak berdaya aku tenggelam dalam kesedihan yang panjang.

Dengan hati yang rapuh aku tetap melanjutkan kehidupanku. Aku masih bekerja seperti biasa sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit besar di kotaku. Sudah sebulan lebih sejak perpisahanku dengan pacarku namun kesedihan masih menyelimutiku.

Pada siang hari saat aku pulang bekerja, aku menangis di sebuah pojokan taman di rumah sakit dan saat itulah aku dipertemukan dengan lelaki itu.
“Hei seorang gadis tidak boleh menangis, apalagi di tempat umum”, goda seorang lelaki tiba-tiba menghampiriku.
Aku cuek tidak menghiraukan lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Tubuhnya kurus tinggi tersenyum kepadaku.
“Eh kok tambah keras sih nangisnya, nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu sama orang-orang”,  lelaki itu sudah duduk di sebelahku.
Aku masih diam saja tak peduli. Lelaki itu hanya tersenyum dan itu terlihat menyebalkan bagiku.
“Apa maumu?”, kataku kesal karena ada orang mengusik kesendirianku.
“Aku cuma sedang lewat saja di lorong ini. Aku tidak suka liat orang bersedih, apalagi itu perempuan”, kata lelaki itu sambil menggaruk kepalanya.
“Yasudah aku sudah selesai nangis. Sekarang pergilah”, jawabku dengan lebih ramah karena ku pikir lelaki ini tidak terlalu mencurigakan. Saat ku perhatikan wajahnya ternyata meyakinkan dan senyumnya meneduhkan.
“Nah begitu dong. Sebelumnya perkenalkan namaku Ariel”, lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman.
“Aku Lira”, jawabku singkat.
Lelaki itu pergi berlalu meninggalkanku. Aku tak terlalu memperhatikan lelaki itu namun sepertinya usianya sebaya denganku. Aku masih trauma sehingga menjaga jarak dengan lelaki manapun. Dulu lelaki yang paling kusayangi dengan teganya meninggalkanku.

Seminggu kemudian, setelah pulang bekerja aku kembali duduk di pojokan taman rumah sakit. Tempat ini memang paling sepi dibanding taman lainnya jadi aku bisa leluasa menyendiri. Aku teringat kenangan dulu saat masih bersama pacarku. Perasaan sedih muncul saat mengetahui dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan lainnya.
“Kenapa menyendiri disini lagi mbak?”, lelaki itu tiba-tiba muncul lagi entah dari mana asalnya.
“Mbak mbak, namaku Lira”, dengusku kesal sambil mencoba menghapus air mataku.
“Sini aku temenin biar ngga nangis. Ini aku kasi permen”, lelaki itu mengeluarkan permen dari dalam tas dan tersenyum kepadaku.
Aku menerima permen pemerian Ariel. Membiarkan lelaki itu duduk di sebelahku. Setelah ku perhatikan lebih lekat, lelaki itu terlihat manis juga dengan senyumnya itu. Namun dia tampak seperti sangat kelelahan, matanya redup, tulang pipinya menonjol, dan tubuhnya sangat kurus.
Kami tenggelam dalam perbincangan panjang. Tetang hal-hal tak penting yang ada di sekitar. Seperti apa yang diobrolkan oleh semut-semut yang berpapasan, kenapa tembok rumah sakit warnanya hijau, dan hal tak penting lainnya. Dua jam berlalu dengan cepat dan sepertinya aku terlupa dengan kesedihanku. Setelah itu kami berpisah setelah aku mengatakan harus segera pulang.

Seminggu kemudian kami bertemu lagi. Saat ku pulang kerja, aku duduk lagi di tempat yang sama dan beberapa menit kemudian lelaki itu sudah muncul juga.
“Wah kebetulan sekali ya kita bertemu lagi disini”, sapa lelaki itu dari kejauhan.
“Ah paling kamu sengaja kesini pengen ketemu aku”, jawabku dengan setengah mengabaikannya.
“Tapi kamu tidak sedang menangis, jadi aku pergi saja ah”, lelaki itu menghampiriku lebih dekat lagi.
“Eh jadi kamu berharap aku menangis terus gitu”, dengusku kesal.
Sisa hari itu kami habiskan dengan obrolan tak penting lagi. Kami juga saling membuka diri bercerita tentang kehidupan masing-masing. Aku baru tau dia bekerja di sebuah yayasan peduli kanker di kotaku. Makanya dia membawa banyak permen untuk dibagikan kepada anak-anak di sana. Dia juga terbiasa menghibur orang-orang yang bersedih makanya aku merasa tenang saat bersamanya. Saat itu aku mulai menyadari bahwa aku mulai terbiasa dengannya.

Begitulah pertemuan kami terus berlanjut seminggu sekali sepulang aku bekerja. Kami semakin mengenal satu sama lain. Dia selalu membuat obrolan yang mengasyikkan sehingga aku makin bisa melupakan sakit hatiku. Yang membuatku nyaman juga, dia tidak pernah mengorek tentang masa laluku, menghakimiku. Dia menganggap bahwa tiap orang memiliki masa lalu dan itu adalah urusan pribadi orang itu. “Yang lebih penting adalah bagaimana menyambut maas depan”, begitu yang sering dia katakan.

Waktu semakin berlalu dan kami semakit dekat. Walaupun begitu tapi dia tak pernah mengutarakan isi hatinya. Aku juga saat itu takut merasa sakit hati lagi, tapi aku sangat nyaman saat bersamanya. Hingga akhirnya pertemuan ke sekian kali aku menyampaikannya semuanya.
“Ariel, aku menyukaimu”, aku akhirnya mengucapkan hal yang terpendam sekian lama.
“Jangan Lira, kamu akan menyesal nanti pada akhirnya”, jawab lelaki itu masih dengan tersenyum, tapi terlihat ada kesedihan di matanya.
“Kenapa begitu?”, selaku tidak terima.
“Ada satu hal rahasia yang tidak pernah aku sampaikan dari dulu”, lelaki itu menunduk menutupi sesuatu.
“Aku sudah tahu semuanya Ariel”, aku diam sejenak. “Aku penasaran kenapa kamu ke rumah sakit tiap minggu lalu satu hari aku mengikutimu. Saat itu aku tahu kamu rutin ke bagian penyakit kanker terpadu untuk memeriksakan penyakitmu. Aku bertanya pada seorang perawat disana dan dikatakan kamu memiliki kanker otak stadium 4”, lanjutku sambil berusaha tegar.
Lelaki itu memperhatikanku dengan sungguh-sungguh, “Wah aku tidak menyangka kalau kamu akan mengetahuinya”.
“Aku sempat menangis lama saat tahu tentang hal itu. Lagi-lagi saat aku mencoba bersama seseorang, saat itu pula aku mendapat kenyataan bahwa kita tak bisa bersama. Tapi aku sudah putuskan. Apapun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu. Kita akan melawan penyakitmu bersama”, aku mencoba tegar, menghapus air yang mulai muncul dari kedua mataku.
“Terima kasih Lira, tak pernah ku temui orang yang begitu tulus sepertimu”, lelaki itu tersenyum padaku, memelukku erat. Aku merasakan cinta yang begitu kuat.

Beberapa bulan berlalu akhirnya kami memutuskan menikah. Aku senang saat mengetahui perkembangan kesehatan Ariel mulai membaik. Dokter pernah memvonis bahwa usianya tidak akan lebih dari 6 bulan lagi, tapi dokter pun bisa salah. Kemoterapi, radiasi, semua tak bisa mengalahkan semangat dan cinta yang kami miliki.

Setiap hari kami lalui hari dengan bahagia. Aku ikut mengantar setiap kali Ariel memeriksakan kesehatannya. Beberapa kali aku juga menemani Ariel di yayasan peduli kanker, berbagi keceriaan bersama anak-anak disana. Ariel mengajarkanku banyak hal, bahwa penderitaan yang kita alami bisa kita jadikan kekuatan untuk membantu orang lain lebih banyak lagi. Aku sangat bahagia bisa bertemu orang sepertinya, dia seperti malaikat bagiku.

Hingga akhirnya di satu malam yang biasa, kondisi Ariel memburuk. Penyakitnya sudah menyebar ke seluruh tubuhnya dan dia sudah pada batasnya. Semua pengobatan sudah tidak bisa lagi menolongnya.
Saat itu aku sedang mengandung anak kami yang pertama dan Ariel pergi meninggalkan ku sendiri. Awalnya aku sangat bersedih harus ditinggalkan sendiri lagi, namun semuanya sudah tak apa bagiku. Aku tidak menyesal pernah mencintai dan hidup dengannya walau untuk beberapa saat.
Aku yakin dia akan selalu mengawasiku dan anak kami yang ada di kandunganku dari atas sana.

You May Also Like

0 comments