Cerpen - Angel
“When we lose a loved one here on
earth, we gain an angel in heaven that watches over us.”
Namaku Lira, usiaku 27 tahun. Aku
baru putus dengan pacarku yang sudah kujalani selama sembilan tahun. Di saat
kami memutuskan akan hidup bersama, apa daya perpisahan yang kami temui.
Perbedaan prinsip membuat runtuhnya jalinan cinta yang telah kami bangun selama
ini. Tak berdaya aku tenggelam dalam kesedihan yang panjang.
Dengan hati yang rapuh aku tetap
melanjutkan kehidupanku. Aku masih bekerja seperti biasa sebagai seorang
perawat di salah satu rumah sakit besar di kotaku. Sudah sebulan lebih sejak perpisahanku
dengan pacarku namun kesedihan masih menyelimutiku.
Pada siang hari saat aku pulang
bekerja, aku menangis di sebuah pojokan taman di rumah sakit dan saat itulah
aku dipertemukan dengan lelaki itu.
“Hei seorang gadis tidak boleh
menangis, apalagi di tempat umum”, goda seorang lelaki tiba-tiba menghampiriku.
Aku cuek tidak menghiraukan
lelaki yang tiba-tiba muncul itu. Tubuhnya kurus tinggi tersenyum kepadaku.
“Eh kok tambah keras sih
nangisnya, nanti aku dikira ngapa-ngapain kamu sama orang-orang”, lelaki itu sudah duduk di sebelahku.
Aku masih diam saja tak peduli. Lelaki
itu hanya tersenyum dan itu terlihat menyebalkan bagiku.
“Apa maumu?”, kataku kesal karena
ada orang mengusik kesendirianku.
“Aku cuma sedang lewat saja di
lorong ini. Aku tidak suka liat orang bersedih, apalagi itu perempuan”, kata
lelaki itu sambil menggaruk kepalanya.
“Yasudah aku sudah selesai nangis.
Sekarang pergilah”, jawabku dengan lebih ramah karena ku pikir lelaki ini tidak
terlalu mencurigakan. Saat ku perhatikan wajahnya ternyata meyakinkan dan
senyumnya meneduhkan.
“Nah begitu dong. Sebelumnya
perkenalkan namaku Ariel”, lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman.
“Aku Lira”, jawabku singkat.
Lelaki itu pergi berlalu
meninggalkanku. Aku tak terlalu memperhatikan lelaki itu namun sepertinya
usianya sebaya denganku. Aku masih trauma sehingga menjaga jarak dengan lelaki
manapun. Dulu lelaki yang paling kusayangi dengan teganya meninggalkanku.
Seminggu kemudian, setelah pulang
bekerja aku kembali duduk di pojokan taman rumah sakit. Tempat ini memang
paling sepi dibanding taman lainnya jadi aku bisa leluasa menyendiri. Aku teringat
kenangan dulu saat masih bersama pacarku. Perasaan sedih muncul saat mengetahui
dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan lainnya.
“Kenapa menyendiri disini lagi
mbak?”, lelaki itu tiba-tiba muncul lagi entah dari mana asalnya.
“Mbak mbak, namaku Lira”,
dengusku kesal sambil mencoba menghapus air mataku.
“Sini aku temenin biar ngga
nangis. Ini aku kasi permen”, lelaki itu mengeluarkan permen dari dalam tas dan
tersenyum kepadaku.
Aku menerima permen pemerian
Ariel. Membiarkan lelaki itu duduk di sebelahku. Setelah ku perhatikan lebih
lekat, lelaki itu terlihat manis juga dengan senyumnya itu. Namun dia tampak seperti
sangat kelelahan, matanya redup, tulang pipinya menonjol, dan tubuhnya sangat
kurus.
Kami tenggelam dalam perbincangan
panjang. Tetang hal-hal tak penting yang ada di sekitar. Seperti apa yang diobrolkan
oleh semut-semut yang berpapasan, kenapa tembok rumah sakit warnanya hijau, dan
hal tak penting lainnya. Dua jam berlalu dengan cepat dan sepertinya aku
terlupa dengan kesedihanku. Setelah itu kami berpisah setelah aku mengatakan
harus segera pulang.
Seminggu kemudian kami bertemu
lagi. Saat ku pulang kerja, aku duduk lagi di tempat yang sama dan beberapa
menit kemudian lelaki itu sudah muncul juga.
“Wah kebetulan sekali ya kita
bertemu lagi disini”, sapa lelaki itu dari kejauhan.
“Ah paling kamu sengaja kesini
pengen ketemu aku”, jawabku dengan setengah mengabaikannya.
“Tapi kamu tidak sedang menangis,
jadi aku pergi saja ah”, lelaki itu menghampiriku lebih dekat lagi.
“Eh jadi kamu berharap aku menangis
terus gitu”, dengusku kesal.
Sisa hari itu kami habiskan
dengan obrolan tak penting lagi. Kami juga saling membuka diri bercerita
tentang kehidupan masing-masing. Aku baru tau dia bekerja di sebuah yayasan
peduli kanker di kotaku. Makanya dia membawa banyak permen untuk dibagikan
kepada anak-anak di sana. Dia juga terbiasa menghibur orang-orang yang bersedih
makanya aku merasa tenang saat bersamanya. Saat itu aku mulai menyadari bahwa
aku mulai terbiasa dengannya.
Begitulah pertemuan kami terus
berlanjut seminggu sekali sepulang aku bekerja. Kami semakin mengenal satu sama
lain. Dia selalu membuat obrolan yang mengasyikkan sehingga aku makin bisa
melupakan sakit hatiku. Yang membuatku nyaman juga, dia tidak pernah mengorek
tentang masa laluku, menghakimiku. Dia menganggap bahwa tiap orang memiliki
masa lalu dan itu adalah urusan pribadi orang itu. “Yang lebih penting adalah
bagaimana menyambut maas depan”, begitu yang sering dia katakan.
Waktu semakin berlalu dan kami
semakit dekat. Walaupun begitu tapi dia tak pernah mengutarakan isi hatinya.
Aku juga saat itu takut merasa sakit hati lagi, tapi aku sangat nyaman saat
bersamanya. Hingga akhirnya pertemuan ke sekian kali aku menyampaikannya semuanya.
“Ariel, aku menyukaimu”, aku
akhirnya mengucapkan hal yang terpendam sekian lama.
“Jangan Lira, kamu akan menyesal
nanti pada akhirnya”, jawab lelaki itu masih dengan tersenyum, tapi terlihat
ada kesedihan di matanya.
“Kenapa begitu?”, selaku tidak
terima.
“Ada satu hal rahasia yang tidak pernah
aku sampaikan dari dulu”, lelaki itu menunduk menutupi sesuatu.
“Aku sudah tahu semuanya Ariel”,
aku diam sejenak. “Aku penasaran kenapa kamu ke rumah sakit tiap minggu lalu
satu hari aku mengikutimu. Saat itu aku tahu kamu rutin ke bagian penyakit kanker
terpadu untuk memeriksakan penyakitmu. Aku bertanya pada seorang perawat disana
dan dikatakan kamu memiliki kanker otak stadium 4”, lanjutku sambil berusaha
tegar.
Lelaki itu memperhatikanku dengan
sungguh-sungguh, “Wah aku tidak menyangka kalau kamu akan mengetahuinya”.
“Aku sempat menangis lama saat
tahu tentang hal itu. Lagi-lagi saat aku mencoba bersama seseorang, saat itu
pula aku mendapat kenyataan bahwa kita tak bisa bersama. Tapi aku sudah
putuskan. Apapun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu. Kita akan melawan
penyakitmu bersama”, aku mencoba tegar, menghapus air yang mulai muncul dari
kedua mataku.
“Terima kasih Lira, tak pernah ku
temui orang yang begitu tulus sepertimu”, lelaki itu tersenyum padaku,
memelukku erat. Aku merasakan cinta yang begitu kuat.
Beberapa bulan berlalu akhirnya kami
memutuskan menikah. Aku senang saat mengetahui perkembangan kesehatan Ariel mulai
membaik. Dokter pernah memvonis bahwa usianya tidak akan lebih dari 6 bulan
lagi, tapi dokter pun bisa salah. Kemoterapi, radiasi, semua tak bisa
mengalahkan semangat dan cinta yang kami miliki.
Setiap hari kami lalui hari
dengan bahagia. Aku ikut mengantar setiap kali Ariel memeriksakan kesehatannya.
Beberapa kali aku juga menemani Ariel di yayasan peduli kanker, berbagi
keceriaan bersama anak-anak disana. Ariel mengajarkanku banyak hal, bahwa
penderitaan yang kita alami bisa kita jadikan kekuatan untuk membantu orang
lain lebih banyak lagi. Aku sangat bahagia bisa bertemu orang sepertinya, dia
seperti malaikat bagiku.
Hingga akhirnya di satu malam
yang biasa, kondisi Ariel memburuk. Penyakitnya sudah menyebar ke seluruh
tubuhnya dan dia sudah pada batasnya. Semua pengobatan sudah tidak bisa lagi
menolongnya.
Saat itu aku sedang mengandung
anak kami yang pertama dan Ariel pergi meninggalkan ku sendiri. Awalnya aku
sangat bersedih harus ditinggalkan sendiri lagi, namun semuanya sudah tak apa
bagiku. Aku tidak menyesal pernah mencintai dan hidup dengannya walau untuk
beberapa saat.
Aku yakin dia akan selalu
mengawasiku dan anak kami yang ada di kandunganku dari atas sana.
0 comments