• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Wirga Wirgunatha

Carpe Diem

When you feel that life is getting harder, stop for a while, and everything is gonna be okay.

Dalam hidup ini kita merasa selalu muncul masalah atau hal berat yang menimpa kita. Seberapa besarpun kita berusaha, semakin besar usaha kita maka seperti semakin besar pula masalah yang menimpa kita. Usaha kita seperti tidak cukup dalam menahan semua beban tersebut.

Dalam beberapa titik waktu, kita sering merasa berada di atas, sepertinya kita sudah menang. Namun sesaat setelah kita mencapainya, maka dengan segera pula kehidupan akan menghantam kita hingga berada kembali ke dasar, bahkan jauh ke dasar jurang. Hingga terkadang kita sulit merangkak kembali ke atas dan pilihan yang kita ambil adalah menyerah.

Misalkan saja suatu hari kita bersenang-senang dengan teman, begitu bahagianya, namun beberapa saat kemudian hal yang menyedihkan datang dengan tiba-tiba. Bisa saja satu hari kita merasa begitu bersemangat menjalani kehidupan, namun hal buruk tiba-tiba terjadi sehingga semangat kita memudar kembali.

Hidup seakan-akan memusuhi kita. Tak membiarkan kita bahagia walau hanya sejenak. Dan hal ini membuat kita muak terhadap kehidupan ini. Lalu kalau seperti ini siapakah yang salah? Apakah kita atau hidup ini?

Setelah dipikirkan kembali ternyata tidak ada yang salah. Semuanya wajar dan memang begitulah adanya. Seperti layaknya siklus kehidupan yang dari kecil jadi besar, ataupun siklus siang malam yang terus berganti, begitu juga dengan semua ini, siklusnya memang demikian. Siklus baik buruk dalam kehidupan memang begitulah dia, kita tidak dapat mengendalikan ataupun merubahnya.

Seperti layaknya sebuah aliran sungai yang mengalir ke lautan. Kita tidak dapat merubah arah arusnya, kita tidak dapat pula merubah bebatuan yang menghadang di sungai tersebut. Karena memang begitu adanya dan kita tidak mengetahuinya. Yang bisa kita lakukan hanya mempertahankan kapal kita agar tetap di jalurnya hingga diba di lautan luas.

Begitu pula yang terjadi dalam hidup ini. Kita memang tidak dapat mengendalikan bahkan menghentikan saat hidup hendak menendang kita keluar. Namun kita bisa mengendalikan diri kita. Kita dapat mengatur respon pikiran, perkataan dan perbuatan kita terhadap semua yang terjadi. Kita tetap dapat memilih semangat di tengah datangnya musibah, kita dapat tetap positif ditengah setiap hal negatif.

Saat kita menyadari bahwa semua ini adalah sebuah siklus yang memang harus kita jalani, maka semuanya terasa baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Dan diri kita tidak akan terpengaruhi lagi. Namun, apabila semuanya terasa semakin susah, kita dapat berhenti sejenak. Memikirkan dengan dalam apa yang terjadi, lalu menerima semuanya dengan sepenuh hati. Dan kita siap untuk bangkit kembali.

Kita dapat memilih tetap menjadi cahaya yang terang di tengah gelapnya malam. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Semakin bertambahnya umur ini, rasanya aku semakin mengenal banyak hal tentang kehidupan. Semakin banyak hal yang aku dapat begitu pula yang aku tinggalkan. Aku menyadari tentang sesuatu datang dan pergi begitu cepatnya. Begitu pula pada akhirnya yang tersisa hanya aku seorang diri.

Kita dilahirkan ke dunia seorang diri, walau melalui perantara orang lain. Kita menjalani masa anak-anak, remaja hingga dewasa. Pada beberapa masa awal kita masih ditemani oleh orang tua yang mengajarkan kita hingga siap menjalani fase berikutnya. Di masa remaja kita mulai belajar sendiri, mengenali diri sendiri dan dunia ini. Dan di masa akhir, kita benar-benar hidup seorang diri.

Ada kala dimana kesendirian begitu tidak mengenakkan. Maksudku dunia ini begitu ramai, di sekeliling banyak orang, namun kita merasa kesepian, seorang diri. Kita merasa terlupakan oleh dunia, kita merasa gagal bersaing dalam kehidupan ini. Dan kesendirian ini seakan membunuh kita.

Ada sebuah cerita tentang seorang pengelana yang tersesat di pegunungan bersalju seorang diri. Berhari-hari ia disana mencoba bertahan hidup, hingga akhirnya kematian menghampirinya. Yang menyebabkan ia mati bukanlah kedinginan atau kelaparan, melainkan perasaan kesendirian yang menggerogotinya. Ia merasa sendiri dan tidak ada arti dalam menjalani hidup ini.

Lalu bagaimana caranya menghadapi perasaan kesendirian seperti ini? bagaimana tetap memiliki semangat hidup saat kita merasa kesepian? Bagaimana untuk tetap bertahan saat merasa tak ada yang layak untuk diperjuangkan?

Saat aku menyelami perasaan kesepian yang ada dalam diriku aku mendapatkan bahwa menjadi sendiri adalah pilihan kita sendiri. Kita ingin hidup sendiri, “being alone” adalah pilihan kita, yang mana kita ingin menjalani hidup ini seorang diri. Namun perasaan kesendirian adalah berbeda, “lonely” adalah sebuah perasaan saat kita merasa hampa, tidak ada orang yang menemani kita dalam kehidupan ini.

Setelah direnungkan kembali, aku sadar bahwa kita dilahirkan memang sendiri dan hingga akhir pun kita sendiri. Kita hidup untuk mengenal orang lain, saling mengenal, saling memberi makna pada orang lain. Our lives aren’t just measured in years. They’re measured in the lives of people we touch around us. Dalam hidup kita bertemu dengan banyak orang dan masuk ke dalam hidup kita. Namun dengan banyak orang tersebut belum tentu kita terhindar dari rasa sendiri. Dia bisa datang begitu saja.

Saat perasaan sendiri itu muncul, cobalah untuk memahaminya daripada menolaknya. Terima dia sebagai salah satu bagian dari perasaan ini. Pelajari dia, apa yang membuat perasaan itu muncul dan dekaplah dia dengan erat. Maka perasaan sendiri itu sudah tidak apa. Perasaan itu akan segera tergantikan. Hanya saja jangan sampai kita termakan oleh perasaan itu dan membuat kita semakin terpuruk.

Saat kita merasa sendiri dan diri ini rasanya terpuruk, percayalah kita tidak benar-benar sendiri, jika kita mau melihat sekitar, banyak orang yang masih peduli pada kita. Ialah orang tua kita, saudara, teman-teman, seluruh umat manusia bahkan apabila kita mau membuka sedikit hati kita kepada mereka.

Selain itu, bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama ini. Mungkin benar banyak hal yang belum kita capai dalam hidup, atau kita sering merasa sendiri. Apabila kita sering melihat keatas atau kesamping maka kita tidak akan pernah bersyukur. Cobalah sesekali melihat ke dalam, lihat ke diri sendiri dan terima apa yang kita miliki.


Bahkan disaat terburuk sekalipun, disaat kita merasa benar-benar sendiri, yakinlah bahwa kita masih memiliki diri sendiri. Saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan kesendirian, maka semua yang terjadi dalam kehidupan ini sudah tidak apa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Satu kenyataan yang paling melegakan dalam hidup ini adalah suatu kejadian buruk tidak akan berlangsung selamanya. Semua itu akan berakhir, layaknya hujan yang tergantikan oleh terangnya matahari. Walaupun mungkin sedikit tetesnya atau sisa genangan bekas hujan masih ada, namun cerahnya sinar lama-kelamaan akan menggantikannya. Sebuah hal buruk akan hilang terlupakan oleh sang waktu. Semua kesedihan akan tergantikan oleh kebahagiaan dan suka cita.

Dalam kehidupan yang kita jalani, perjalanan kita hingga saat ini, tentunya kita telah melewati berbagai hal buruk. Kejadian buruk muncul setara dengan kejadian baik yang kita alami, dan tak dapat kita bendung. Hal tersebut membuat kita jatuh terpuruk dalam kesedihan, penderitaan dan kegelapan. Bahkan terkadang kita susah untuk bangkit darinya.

Ada siswa yang gagal mengikuti ujian karena kecelakaan yang tiba-tiba, padahal dia sudah belajar dengan keras sebelumnya. Hal ini membuatnya terpuruk dan tidak ingin melanjutkan sekolah lagi. Ada pula seorang yang diputuskan oleh pacarnya karena hubungan yang tidak baik. Orang tersebut tak mampu menahan sakit hatinya lalu memilih bunuh diri.

Ada pula seorang pengusaha sukses kaya raya, namun tiba-tiba terkena serangan stroke. Semua hasil kerja kerasnya tidak dapat dinikmatinya karena setiap hari dia terbaring di rumah sakit. Ada seorang ibu yang sangat bersedih karena anak yang baru dilahirkan meninggal dunia karena penyakit tertentu.

Ada juga hal buruk seperti kehilangan pensil, terjatuh di tangga atau terlambat ke sekolah. Serta banyak lagi hal buruk yang dialami orang-orang dalam hidup ini. Kejadian buruk yang seperti menjatuhkanmu jauh ke dasar jurang, sehingga sulit mendakinya kembali atau hal buruk yang bisa kita lewati dengan mudahnya.

Namun, kejadian buruk tersebut tidaklah selalu menghasilkan sesuatu yang buruk, dan yang lebih melegakan lagi, kejadian buruk tersebut tidaklah berlangsung selamanya. Pasti akan ada akhir dari sesuatu buruk tersebut. Akan terlihat terang setelah gelapnya malam. Akan ada kebaikan bagi orang yang mampu bertahan.

Misalkan saja, anak yang tidak lulus ujian mempunyai peluang lain di bidang musik dan menjadikannya sukses di bidang itu. Pengusaha yang sakit terbuka hatinya untuk saling menolong sesama, yang awalnya dia terlalu fokus akan kerja dan tidak memiliki hati. Lalu ibu yang kehilangan anaknya mulai membuka yayasan untuk membantu ibu-ibu lain tentang bagaimana menjaga kehamilan dengan baik. Dan hal lainnya dimana orang-orang mampu melihat suatu yang baik setelah digempur oleh hal-hal buruk kehidupan.

Kita dapat memilih untuk menciptakan kedamaian dalam diri bahkan di saat-saat terberat dalam hidup ini. Pertama kita harus menyadari bahwa pasang surut kehidupan adalah sesuatu yang alami. Kita pasti akan menemui saat terburuk dalam kehidupan ini, bagaimana baikpun kita menyiapkan sesuatunya. Jadi jalani saja hal buruk tersebut. Dan yang terpenting adalah dengan yakin bahwa sesuatu yang buruk itu tidak akan berlangsung selamanya, pasti akan ada akhirnya.

Jadi tenanglah bagi kita yang sedang mengalami saat-saat terburuk dalam hidup ini, karena semuanya pasti berlalu, dan percayalah sesuatu yang indah akan datang menggantikan pada waktunya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakan yang kuat.”

Sebuah novel berjudul Ibuk, karya dari Iwan Setiawan. Novel tentang pengalaman hidup sebuah keluarga yang kecil, serba kekurangan dari segi materi, namun tak pernah kekurangan cinta. Di keluarga kecil, di daerah Batu di kaki Gunung Panderman, mereka bertahan melawan kerasnya dunia.

Kisah tentang kasih sayang yang tulus dan kerasnya usaha Bapak dan Ibuk mampu membesarkan lima orang anaknya dan membawa perubahan kepada keluarga mereka. Sebuah kisah yang sangat menginspiratif, mengharukan dan memberi makna tentang kehidupan.

Kisah ini berawal dari Tinah (Ibuk), yang saat itu masih belia. Suatu pagi di Pasar Batu telah mengubah hidupnya yaitu ketika ia bertemu Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah muungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin berwarna.

Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Merekalah kelima buah hati Ibuk yang memberi warna pada keluarga ini. Berbagai permasalahan kehidupan mereka lalui, bukan sebagai sebuah penderitaan melainkan perjuangan yang harus dijalani. Bapak setiap hari kerja membanting tulang tanpa kenal lelah untuk membiayai kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anak. Sementara ibuk mengerjakan semua kerjaan rumah dan anak seperti bersih-bersih, memasak, memberi makan anak dan lainnya. Kelak, apa yang dilihat dari kedua orang tuanyalah yang membuat anak-anak semakin mencintai keluarga mereka.

Memiliki Bapak dan Ibuk yang senantiasa bekerja tanpa lelah dan penuh sayang kepada anaknya membuat anak-anak menjadi mengerti. Mereka sadar akan kehidupan dan mulai membantu pekerjaan di rumah. Mereka saling menguatkan, dalam bahagia, dalam sedih mereka saling bersama. Karena disini mereka diajarkan bahwa keluarga adalah yang utama.

Setelah perjuangan selama bertahun-tahun akhirnya kelima anak Ibuk sudah besar dan sukses. Ada yang sudah sekolah hingga tinggi, bekerja dan menikah. Satu anak yang membuka jalan rejeki bagi keluarga ini adalah Bayek. Dialah yang sejak kuliah sudah merantau ke Bogor, lalu sempat bekerja di New York selama 10 tahun. Dari sana dia mendapat cukup uang untuk kedua orang tuanya dan keempat saudarinya, untuk memperbaiki seluruh kehidupan mereka.

Kehidupan Bayek penuh dengan perjuangan, untuk keluarganya tercinta, untuk Bapak dan Ibuk. Setelah usai menunaikan tugasnya, ia kembali ke Indonesia. Mulailah dia menulis untuk membagikan apa yang dia alami dan pelajari kepada masyarakat luas. Ia ingin merubah kehidupan dua tigak anak supir angkot sepertinya untuk sukses di kehidupan.

Begitulah kisah ini berakhir, tentang keluarga kecil di kaki Gunung Panderman yang penuh cinta. Tentang perjuangan Ibuk yang dengan penuh kasih sayang membesarkan anaknya. Tentang kerinduan yang begitu dalam dari anak-anak kepada orang tuanya. Rindu akan masakan ibuk, belaian, tatapan serta pelukannya.

Kisah yang cocok bagi anak-anak yang merantau ke luar daerah demi mencari rejeki, demi menemukan kehidupan. Jauh dari keluarga dan hangatnya kampung halaman. Kuatkanlah dirimu di rantauan sana karena selalu ada doa Ibuk yang menemanimu disana. Muncul rasa rindu yang mendalam saat membaca kisah ini, dan semoga rindumu itu bisa diobati setelah melihat wajah bahagia kedua orang tuamu.

“Hidup memang menantang. Hidup kadang melempar, kadang menampar. Tapi hidup terlalu megah untuk diakhiri oleh diri sendiri. Bukankah keindahan hidup sering kali ditemukan dalam pilu?”

“Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kapan terakhir kali kamu mengunjungi alam? Menikmati sejuknya udara pegunungan, memandangi matahari tenggelam, kemah di dalam hutan, berpetualang ke tempat-tempat yang belum terjamah, terpukau oleh danau, sungai, pantai, air terjun, atau lautan. Kita kembali ke tempat kita berasal, tempat yang penuh dengan kehidupan, yaitu alam.

Alam kita katakan seperti ibu kita, ibu pertiwi. Darinyalah kita bisa hidup, bernapas, berkembang dan mencapai apa yang kita inginkan sampai sekarang. Alam menyediakan makanan, pakaian, rumah dan semua bahan sebagai keberlangsungan hidup kita. Alam memberi kita semua yang kita butuhkan, layaknya seorang ibu. Alam memberi kehangatan, memberi kesejukan, memberi kehidupan.

Dalam perkembangan kehidupan manusia, sayangnya kita tidak selalu mampu membalas kebaikan dari alam. Bukannya berterima kasih dan menjaganya, kita malam memberi kehancuran kepada ibu kita. Ketamakan manusia, rasa mementingkan diri sendiri, kurangnya rasa peduli, membuat kita dengan seenaknya mengeksploitasi alam untuk memenuhi keinginan kita.

Alam menjadi rusak. Apa yang kita lihat dulu tidak bisa dilihat sekarang. Keindahan alam yang dulu yang menjadi kebanggaan umat manusia, hilang bersama kisah-kisah dongeng pengantar tidur di saat malam. Banyak satwa punah, banyak hutan hilang, air mengering, salju menipis, alam menjadi panas, hanya karena ketamakan manusia. Apakah ini yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita kelak?

Iya, tidak bisa kita pungkiri memang banyak manusia yang memperlakukan alam semena-mena. Tanpa ampun, tanpa kepedulian. Namun belakangan ini banyak juga yang peduli, muncul kelompok pecinta alam, penggiat pelindung satwa, hukum ditegakkan, hanya demi keberlangsungan alam. Kita kembali sadar akan peran dan posisi kita di alam yang agung ini.

Setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang sama untuk turut dalam menjaga alam. Karena apa yang kita perbuat sekarang, itulah yang akan kita wariskan bagi kehidupan setelah kita kelak.

Kembali lagi ke awal, kapan terakhir kali kita mengunjungi alam? Di jaman sekarang dimana hutan telah menjadi gedung pencakar langit, sawah menjadi permukiman dan sungai mengering atau tak terawat, kita melihat alam begitu suram, begitu kasihan. Tapi, tentunya masih ada yang dapat kita nikmati, kita masih bisa memilih mencitai alam lagi.

Maka kini saatnya mengunjungi ibu kita. Tinggalkan semua hiruk pikuk kota, kemas barang bawaan kita dan mari mengunjungi alam. Mari kita mendaki gunung, kemah di hutan, bercengkerama dengan binatang, ke sawah, sungaii, danau, lautan, pantai, atau mengunjungi tempat-tempat yang belum terjamah. Mari kita menikmati alam.

Seperti layaknya mengunjungi ibu, ada ketenangan yang muncul dalam diri. Seperti kita kembali ke tempat kita berasal. Ada kedamaian yang muncul kepermukaan, dan kita merasa kembali ke jati diri bahwa kita bagian dari alam. Kita akan menyadari bahwa diri ini bukanlah siapa-siapa. Kita hanya bagian kecil dari alam yang begitu luasnya ini.

Saat mengunjungi alam kita merasa hidup, energi alam akan mengalir di dalam diri dan menjadi satu. Kita akan merasa hidup.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me

Saya Wirga Wirgunatha, hanya seorang manusia yang ingin membagikan pemikiran melalui sebuah tulisan. Memiliki ketertarikan terhadap alam dan kehidupan.

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Blog Archive

  • September 2019 (2)
  • Agustus 2019 (9)
  • Mei 2019 (4)
  • April 2019 (15)
  • Maret 2019 (28)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • November 2018 (6)
  • Agustus 2018 (1)
  • Juli 2018 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (4)
  • Oktober 2016 (2)
  • September 2016 (1)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (5)
  • Januari 2016 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Label Cloud

  • Artikel
  • Buku
  • Cerpen
  • Coretan
  • Puisi

Popular Posts

  • Cinta dan Sampah Plastik
    Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk ...
  • Puisi - Aku Mencari
    Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata Cerita sebagai pelipur derita Pada kutipan Pada sajak Pada pusi Namun tak juga ku...
  • Dengarkanlah - Reza A.A. Wattimena
    Secangkir teh. Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sop...
  • Cerpen - Siklus Waktu
    Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, ...
  • Pria Bali
    Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia...

Quotes

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates