Felling Lonely

by - Desember 18, 2016

Semakin bertambahnya umur ini, rasanya aku semakin mengenal banyak hal tentang kehidupan. Semakin banyak hal yang aku dapat begitu pula yang aku tinggalkan. Aku menyadari tentang sesuatu datang dan pergi begitu cepatnya. Begitu pula pada akhirnya yang tersisa hanya aku seorang diri.

Kita dilahirkan ke dunia seorang diri, walau melalui perantara orang lain. Kita menjalani masa anak-anak, remaja hingga dewasa. Pada beberapa masa awal kita masih ditemani oleh orang tua yang mengajarkan kita hingga siap menjalani fase berikutnya. Di masa remaja kita mulai belajar sendiri, mengenali diri sendiri dan dunia ini. Dan di masa akhir, kita benar-benar hidup seorang diri.

Ada kala dimana kesendirian begitu tidak mengenakkan. Maksudku dunia ini begitu ramai, di sekeliling banyak orang, namun kita merasa kesepian, seorang diri. Kita merasa terlupakan oleh dunia, kita merasa gagal bersaing dalam kehidupan ini. Dan kesendirian ini seakan membunuh kita.

Ada sebuah cerita tentang seorang pengelana yang tersesat di pegunungan bersalju seorang diri. Berhari-hari ia disana mencoba bertahan hidup, hingga akhirnya kematian menghampirinya. Yang menyebabkan ia mati bukanlah kedinginan atau kelaparan, melainkan perasaan kesendirian yang menggerogotinya. Ia merasa sendiri dan tidak ada arti dalam menjalani hidup ini.

Lalu bagaimana caranya menghadapi perasaan kesendirian seperti ini? bagaimana tetap memiliki semangat hidup saat kita merasa kesepian? Bagaimana untuk tetap bertahan saat merasa tak ada yang layak untuk diperjuangkan?

Saat aku menyelami perasaan kesepian yang ada dalam diriku aku mendapatkan bahwa menjadi sendiri adalah pilihan kita sendiri. Kita ingin hidup sendiri, “being alone” adalah pilihan kita, yang mana kita ingin menjalani hidup ini seorang diri. Namun perasaan kesendirian adalah berbeda, “lonely” adalah sebuah perasaan saat kita merasa hampa, tidak ada orang yang menemani kita dalam kehidupan ini.

Setelah direnungkan kembali, aku sadar bahwa kita dilahirkan memang sendiri dan hingga akhir pun kita sendiri. Kita hidup untuk mengenal orang lain, saling mengenal, saling memberi makna pada orang lain. Our lives aren’t just measured in years. They’re measured in the lives of people we touch around us. Dalam hidup kita bertemu dengan banyak orang dan masuk ke dalam hidup kita. Namun dengan banyak orang tersebut belum tentu kita terhindar dari rasa sendiri. Dia bisa datang begitu saja.

Saat perasaan sendiri itu muncul, cobalah untuk memahaminya daripada menolaknya. Terima dia sebagai salah satu bagian dari perasaan ini. Pelajari dia, apa yang membuat perasaan itu muncul dan dekaplah dia dengan erat. Maka perasaan sendiri itu sudah tidak apa. Perasaan itu akan segera tergantikan. Hanya saja jangan sampai kita termakan oleh perasaan itu dan membuat kita semakin terpuruk.

Saat kita merasa sendiri dan diri ini rasanya terpuruk, percayalah kita tidak benar-benar sendiri, jika kita mau melihat sekitar, banyak orang yang masih peduli pada kita. Ialah orang tua kita, saudara, teman-teman, seluruh umat manusia bahkan apabila kita mau membuka sedikit hati kita kepada mereka.

Selain itu, bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama ini. Mungkin benar banyak hal yang belum kita capai dalam hidup, atau kita sering merasa sendiri. Apabila kita sering melihat keatas atau kesamping maka kita tidak akan pernah bersyukur. Cobalah sesekali melihat ke dalam, lihat ke diri sendiri dan terima apa yang kita miliki.


Bahkan disaat terburuk sekalipun, disaat kita merasa benar-benar sendiri, yakinlah bahwa kita masih memiliki diri sendiri. Saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan kesendirian, maka semua yang terjadi dalam kehidupan ini sudah tidak apa.

You May Also Like

0 comments