Mountaineer
“Aku
mendaki bukanlah untuk menaklukkan gunung, melainkan menaklukkan keangkuhanku,
bahwa aku hanyalah titik kecil diantara banyaknya entitas yang ada di alam ini.”
Pertanyaan
yang sering disampaikan kepada orang yang senang mendaki gunung atau antar
pendaki yaitu, kenapa kamu ke gunung? Apa yang kamu cari susah-susah ke atas
gunung? Berjalan melewati hutan atau bebatuan hanya untuk kesenangan sementara
atau kebanggaan yang maya, lebih baik tidur saja di rumah. Apa enaknya mendaki
gunung?
Aku
sempat mendaki gunung bersama dengan orang-orang yang telah mendaki berbagai
gunung yang ada di Indonesia dan aku juga ditanyakan hal yang sama. Lama aku
diam tak bisa menjawab karena aku tak yakin juga dengan tujuanku. Awalnya aku
tidak tau apa yang aku cari sampai ke atas sini dengan fisik dan mental
terkuras habis.
Salah
satu teman ada yang menjawab, dia mendaki untuk mencari kesenangan. Ya aku
setuju, kesenangan bisa dicari melalui berbagai cara dan di berbagai tempat,
mungkin baginya gunung merupakan salah satunya. Namun bagaimana bisa mendaki
gunung memberikan kesenangan? Mungkin terlalu abstrak bagiku. Apakah senang
karena berhasil menaklukkan tingginya dan beratnya medan gunung tersebut? Atau
senang melihat pemandangannya yang indah? Atau senang saat bisa bersama
teman-teman?
Salah
satu jawaban lainnya aku dengar dari seorang pemuda yang telah sering mendaki
gunung, jawabannya begitu filosofis menurutku. Dia mengatakan, “Aku mendaki
untuk mengalahkan egoku, aku mendaki untuk menikmati karunia Tuhan”. Begitu
indah sekali kata-katanya atau mungkin dia pernah membacanya di sebuah buku.
Aku juga setuju dengan hal ini, namun aku skeptis pada sebuah kalimat
melankolis tanpa sesuatu yang bermakna. Hanya seperti hiasan semata. Benarkah
kita bisa mengalahkan ego kita hanya dengan mendaki gunung? Sementara saat di
perjalanan kita masih menganggap diri paling superior dibanding yang lain. Atau
bagaimana menikmati karunia Tuhan sampai jauh ke atas gunung sementara kita
belum bisa mensyukuri sesuatu yang ada di sekeliling kita.
Hingga
akhirnya aku mendengar jawaban dari seorang bapak atau mungkin kakek yang turut
dalam perjalanan kami, usianya sudah kepala lima namun tetap memiliki semangat
yang membara. Katanya, “Setelah hidup sekian lama, aku tidak bisa mendapatkan
kepuasan dari banyak hal di dunia ini. Berjudi, wanita, harta benda, tidak
pernah membuatku puas dan senang karena selalu ada keinginan yang lebih. Namun
setiap aku mendaki gunung, berulang kali lagi dan lagi, aku selalu mendapat
kepuasan dan kebahagiaan. Aku mendapat banyak pelajaran di atas sini. Mengenal
banyak orang baru, generasi baru, memberiku semangat untuk terus berbagi. Bahwa
mendaki gunung adalah bagian dari menjalani kehidupan itu sendiri”. Mendengar
ucapan dari bapak tersebut aku baru merasa setuju. Jawaban yang sangat jujur
dan mengharukan. Walaupun usianya sudah tidak terbilang muda lagi namun dia
tetap menikmati mendaki gunung. Dan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi
juga untuk orang lain di sekitarnya.
Sementara
kami terus berjalan hingga rombongan kami hampir mencapai puncak. Indahnya
pemandangan sepanjang jalan mampu menghilangkan setiap lelah yang datang. Canda
tawa bersama teman mampu menghilangkan lapar dan dahaga. Dan dengan usaha,
berjalan naik sedikit demi sedikit kami akhirnya berhasil mencapai puncak.
Setelah di puncak lalu bagaimana? Semuanya terasa kosong dan hampa.
Bagi
orang yang mendaki untuk menikmati puncaknya maka dia tidak akan mendapatkan
apa-apa, karena esensi dari pendakian ialah perjalanan itu sendiri. Bagaimana
kita meresapi setiap langkah dan menikmati setiap perjalanannya,begitu
menurutku. Namun sampai di puncak aku juga masih lama berpikir tentang apa
tujuanku mendaki, dan sampai kini aku belum punya jawaban yang pasti.
0 comments