Suffering

by - Maret 02, 2019


Pikiranku melayang menembus waktu menuju tanggal delapan januari tahun lalu, saat aku terhampar di kasur, menangis, marah, kecewa, sedih, putus asa tentang semua yang menimpa kehidupanku ini. Aku terdiagnosis penyakit tuberkulosis paru. Fakta itu saja sudah mampu membawaku menuju ribuan hujatan yang kutujukan pada entah orang tua, keluarga, orang sekitar bahkan Pencipta.

Jika aku ingat, aku sudah mengalami gejala penyakit ini sejak beberapa bulan sebelumnya. Awalnya aku merasa lemas-lemas tidak jelas saja, aku kira hanya karena kurang olahraga dan makan teratur. Namun lemas ini tak kunjung hilang, bahkan semakin parah. Dua minggu aku batuk berdahak berwarna puti h kental, produktif sepanjang hari. Disertai juga dengan nyeri dada, perasaan sesak nafas dan berat badan menurun padahal tidak ada masalah dengan nafsu makan. Aku yang mempelajari berbagai penyakit tidak sadar kalau aku mengalami penyakit yang serius. Begitu juga ibuku yang hanya memberiku antibiotik dan obat biasa saja. Bahkan aku sempat kesal dengan ibuku karena tidak serius dalam menanggapi keluhanku.

Beberapa hari kemudian aku mulai batuk berdarah, darah berwarna merah segar. Aku mulai yakin bahwa ada sesuatu buruk yang sedang terjadi padaku. Aku merasa takut dan juga panik, terlebih karena aku akan segera menjalani ujian akhir nasional dalam profesiku. Selama beberapa hari aku terus mengutuk kondisiku pada saat itu.

Hingga akhirnya pada tanggal de lapan itu, aku bersama ibu memeriksakan diri ke rumah sakit lagi, mengambil foto rontgen dada dan ku lihat jelas adanya infeksi itu. Awalnya aku denial keras, tidak percaya dengan apa yang kualami ini. Tak ku biarkan seorangpun menjebol pertahananku. Entah itu ibu, bapak, pacar, atau nenek dan adikku yang kebetulan di rumah pada saat itu. Bibi dan omku juga beberapa ada yang memberiku semangat lewat telepon tapi tak ada satupun yang aku hiraukan.

Saat itu yang ku pikirkan hanyalah aku mengutuk keadaan dan sekitarku. Aku menyalahkan orang lain atas semua sakitku ini. Aku berpikir tentang mimpi di tahun ini yang tidak bisa ku capai, tentang ujianku yang akan segera datang, dan aku merasa tak ada satupun teman juga yang peduli padaku.

Sepanjang hari setiap anggota keluarga datang menghampiriku memberi semangat tapi aku cuma diam saja membatu. Hingga akhirnya pada malam hari ibu datang ke kamarku, meminta maaf kalau dia memiliki salah atas penyakitku, mengatakan akan berjuang bersama untuk menyembuhkan sakitku. Pertahananku luluh dan kami menangis bersama. Disana aku merasakan sayang yang begitu dalam dan aku merasa dicintai.

Akhirnya hatiku kembali bangkit, setelah semua fase denial, marah, menyalahkan orang lain, depresi akhirnya aku bisa menerima semua kenyataan yang aku alami ini. Aku mengikuti instruksi untuk menjalani pengobatan selama enam bulan. Dua bulan pertama menjalani tahap intensif minum obat setiap hari lalu 4 bulan berikutnya menjalani tahap lanjutan. Aku mulai terbuka pada teman-temanku, membagi cerita apa yang ku alami pada mereka dan aku sadar bahwa masih ada yang peduli padaku.

Waktu berlalu dan tidak terasa enam bulan sudah aku menjalani pengobatan. Banyak peristiwa kehidupan juga yang telah ku lalui mulai dari kelulusan profesiku, aku membantu di yayasan, memelihara anjing, ikut penelitian dan lainnya. Enam bulan yang tidak mudah, namun dengan bantuan dan dukungan berbagai orang aku mampu melewatinya dengan baik dan dinyatakan sembuh dari penyakitku ini.

Dari semua kejadian yang menimpaku di awal hingga pertengahan tahun itu aku berpikir, jika semua hal memiliki makna apakah makna dari seluruh penderitaan ini? Apakah derita hanya untuk melengkapi suka? Dan semua yang terjadi hanyalah kesia-sia?

Dalam perenungan itu aku menyadari bahwa apa yang aku alami ini memiliki pelajaran, yaitu untuk menyiapkan diriku agar semakin bertumbuh dan agar aku lebih bersyukur tentang apa yang aku miliki. Aku diberi rasa sakit agar aku bisa memahami rasa sakit yang orang lain miliki. Bahwa sakit itu bersifat subjektif, personal sehingga kita tak boleh meremehkan setiap keluhan orang. Bahwa bagaimana kita ingin diperlakukan saat sakit dan bahwa rasa sakit itu akan selalu ada. Terkadang kesehatan baru terasa mahal saat kita sedang sakit jadi janganlah lupa untuk selalu menjaga kesehatan.

Selain itu aku juga diminta menyadari bahwa masih banyak orang di sekeliling yang menyayangiku, yang peduli padaku. Mereka ialah kedua orang tuaku, keluargaku, teman-teman, dan tentu saja Pencipta. Mereka bersedia mengorbankan waktu, emosi, tenaga hanya demi diriku. Itu yang perlu aku syukuri. Terkadang kita terlalu fokus pada diri sendiri sehingga sering mengabaikan kehadiran mereka. Oleh harena itu mulailah semakin peduli kepada malaikat yang dihadirkan ke dunia untuk kita tersebut.

Selalu ada makna bahkan dalam setiap penderitaan. Yang perlu kita lakukan ialah lebih menyadari makna tersebut dan tidak terlalu larut dalam setiap kesedihan yang menyertai penderitaan. Karena suka dan duka ialah sebuah niscaya, maka yang perlu dilakukan ialah hidup dengan sebaik-baiknya.

You May Also Like

0 comments