Born to Be Different

by - Agustus 04, 2016

Aku bangun seperti orang kebanyakan. Aku menggunakan pakaian seperti yang orang lain gunakan dan menggunakan kendaraan seperti yang orang lain kendarai. Setiap hari aku membicarakan sesuatu yang umumnya orang bicarakan, aku berperilaku dan berbuat sesuai dengan yang disepakati oleh semua orang serta aku menjalani hari-hariku sama seperti orang lainnya. Hingga akhirnya, aku menutup mata dengan cara lazim yang digunakan oleh setiap orang.

Kehidupan ini sudah menentukan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Seakan membuat kita seragam dengan semua orang, dan yang berbeda atau menentang akan dibuang, terlepas dari hal itu benar ataupun salah. Kita diarahkan untuk mengikuti semua kaedah-kaedah yang ada, walaupun kita tidak tahu apakah itu mempunyai maksud yang baik atau buruk. Intinya kita harus berbuat sama.

Ada orang yang dikucilkan karena dia miskin, ada orang yang dijauhi karena dia cacat, ada orang yang tidak mau diterima karena dia banyak bicara, atau mungkin ada orang yang disingkirkan karena dia berprestasi atau menaati aturan. Benarkah kita dilahirkan untuk menghargai perbedaan? Atau kita terlalu munafik untuk membenarkan bahwa kita egois?

Aku pernah mendengar sebuah cerita dari temanku, di sekolah misalnya dia sangat jujur dan tidak mau menyontek saat ujian. Namun ‘budaya’ di sekolahnya mengharuskan dia untuk bisa bekerjasama saat ujian, ya mencontek. Dia menolak dan tetap pada idealismenya - yang benar - untuk tidak mencontek. Hasilnya ya tentu saja, dia dikucilkan di kelompoknya dan dianggap orang yang sok baik sehingga berakhirlah ceritanya. Apakah kita sudah buta dalam menyikapi suatu perbedaan sehingga tidak mampu menentukan mana yang baik dan buruk? Atau apakah kita masih menerapkan konsep klasik bahwa kalau bersama-sama pasti benar, dan bukannya benar dipakai bersama?

Setiap orang memang dilahirkan tidak sama, baik disengaja ataupun tidak, namun itulah kenyataannya. Lalu apa masalahnya terhadap perbedaan tersebut? Bukankah perbedaanlah yang membuat hidup ini semakin berwarna? Layaknya taman bunga, warna warni dari bunga tersebutlah yang membuat tempat itu menjadi semakin indah, dibandingkan dengan sehamparan tanaman yang monoton. Lalu bagaimana dengan manusia, apakah kita memang lebih suka hidup dengan sesuatu yang homogen?

Setiap manusia diciptakan memiliki pikiran dan hati, yang membuatnya bisa menentukan mana yang baik buruk, benar salah. Begitu pula selayaknya seorang manusia, mampu menggunakan anugerah yang diberikan tersebut, termasuk dalam menyikapi suatu perbedaan. Seperti hal-hal teoritis yang sering disampaikan, “perbedaan itu bukanlah masalah tapi anugerah”. Mungkin kata-kata ini tetap takkan bermakna sampai kita berhenti meyakini dan memuja saja kata-kata tersebut dan mulai melakukan tindakan nyata untuk mewujudkannya.

Kita tentu mampu menggunakan hati nurani kita untuk menentukan mana yang benar dan salah. Kita harusnya sadar, ya sadar tentang hidup ini. Dan menerima bahwa hidup ini memang penuh dengan perbedaan (anugerah). Saat kita sudah mulai bisa menerima, maka kita akan bisa menghargai setiap perbedaan yang ada. Karena memang untuk itulah manusia dilahirkan, bahwa kita hidup untuk menjalani perbedaan, dan perbedaan itulah yang membuat kita merasa hidup.

You May Also Like

0 comments