“sejauh apa pun jalan yang kita
temput, tujuan akhir selalu rumah”
Ada banyak buku yang
menceritakan tentang kisah perjalanan seseorang dalam mengelilingi Indonesia,
namun ini ialah salah satu yang terbaik. Buku ini menceritakan tentang
perjalanan tiga orang manusia – Bung, Prem dan Baduy – mengunjungi berbagai
tempat di Indonesia. Mereka memiliki motivasinya masing-masing, salah satunya
Bung karena hati yang terluka, namun mereka punya mimpi yang sama, yaitu
menginjakkan kakinya di berbagai daerah di Indonesia dan menyaksikan langsung
keindahan negeri ini.
Perjalanan tiga orang
ini dimulai dari Pulau Sumatra, bertolak dari Jawa hingga tiba di pelabuhan di
Lampung. Bepergian dengan ‘backpacker’ membuat mereka harus menghemat mungkin
pengeluaran untuk transportasi dan penginapan sehingga sering mereka menumpang
ke beberapa pengendara yang lewat dan tidur di tenda yang hanya beralaskan
tanah. Mereka mengunjungi berbagai tempat di Padang, Bukittinggi, Medan, Pulau
Samosir, Pulau Nias hingga ujung barat kepulauan Indonesia yaitu Pulau Weh,
Sabang.
Sempat berpisah
sebentar dengan Baduy, akhirnya mereka dipertemukan lagi di Makassar. Di Makassar
berbagai tempat juga dikunjungi seperti naik gunung, ke Pulau Selayar, Tana Toraja
hingga akhirnya ke Pulau Miangas di Manado. Sebelum akhirnya satu persatu
temannya minta mengakhiri perjalanan karena suatu alasan, dan Bung melanjutkan
perjalanannya seorang diri.
Arah Langkah bukan
sekadar catatan perjalanan dalam mengunjungi berbagai tempat di Indonesia,
melainkan juga bagaimana bertemu dengan banyak orang, sahabat yang membantu
perjalanan mereka. Bung dan kawan-kawan dipertemukan dengan sahabat dari media
sosial yang bersedia membantu mereka, seperti dibantu transportasi, menginap
hingga hal yang dapat mempermudah lainnya. Beberapa pertemuan juga membuat
mereka lebih mengenal lagi berbagi karakter orang di berbagai tempat. Bahwa setiap
orang punya sisi baik asalkan kita bisa tahu cara masuk ke kehidupan mereka.
“Beberapa pertemuan
singkat memang diciptakan untuk lama melekat di dalam hati. Beberapa rindu
memang diharuskan terasa bahkan sebelum berai.”
Kecintaan mereka terhadap
alam membuka persahabatan dengan orang-orang yang juga mencintai alam. Bung dan
kawan-kawan sering menginap di basecamp Kelompok Pecinta Alam dan membangun
persahabatan disini. Mereka diajak ke gunung dan menikmati berbagai keindahan
alam lainnya. Saat berada di gunung, dia pernah mengatakan, “Di ketinggian, aku
merasa kecil. Aku merasa tidak menaklukkan gunung, justru gununglah yang
menaklukkan kesombonganku.”
Satu hal lagi yang
menarik dalam kisah ini ialah Bung dapat mudah akrab dengan orang-orang yang
ditemuinya karena dia membawa ukulele kesayangannya. Dasar Bung yang memang
seorang musisi membuat dia tidak asing dengan hal tentang musik. Katanya, “musik
adalah bahasa universal”. Mungkin kata tidak dapat menyampaikan maksud kita
pada seseorang, tapi musik bisa.
“Indonesia adalah
sepercik surga yang Tuhan turunkan di muka bumi. Akan sangat merugi diriku jika
hanya bisa melihat pantai, gunung, keanekaragaman budaya, dan nilai
historisnya, hanya dari layar kaca.”
Buku perjalanan ini
tidak terlepas dari hal yang mendasari perjalanan Bung, yaitu rasa sakit
hatinya pada Mia. Seorang yang sangat dicintainya yang akan dinikahinya malah
lebih memilih sahabat Bung. “Mungkin benar kata orang, cinta dan karir tidak
bisa berjalan beriringan, harus ada ang jadi korban”, begitu katanya saat itu. Dia
melewati kesedihan yang begitu dalam hingga akhirnya dapat mengatakan, “Mulai
sekarang, aku harus mensyukuri realitas yang pernah aku miliki, daripada terus
mengejar fiksi yang takkan pernah kumiliki.”
Perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain, membuat pertemuan dan perpisahan ialah hal yang harus
ditemui. Bertemu dengan orang dan
lingkungan baru, mulai akrab dan nyaman disana, lalu tiba-tiba kita harus
berpisah. “Sisi lain dari perjalanan adalah kita pun harus siap berpisah dengan
orang-orang tersebut”, begitu katanya.
“Karena perpisahan,
semanis apa pun, seindah apa pun, tetaplah perpisahan. Ada cerita yang harus
berubah menjadi kenangan.”