• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Wirga Wirgunatha

Carpe Diem


Jangan mendekat nanti kau jatuh terlalu dalam
Cegahlah sebelum pilihannya hanya mengalah
Aku takut tangan ini tak mampu menggenggam erat
Dan melepas menjadi jawaban dari semua penantian

Kita ada hanya untuk mengucap kata berpisah
Seharusnya kau tahu sebelum mengucap kata mesra
Mungkin lebih baik kita tak pernah menjadi satu
Biarlah hanya sepasang manusia yang saling merindu

Kau membuatku berani bermimpi di tengah hari yang semakin sepi
Memberi harapan pada hati yang semakin rentan
Namun kau membuatku ragu percaya pada hatiku
Saat ujung dari rasa hanyalah sebuah sia-sia

Biarlah semua seperti ini, suka yang tak pernah menjadi kita
Simpan rasa untukmu sendiri perlahan hingga semua pergi
Sementara aku hanya bisa menjauh perlahan
Melepas semua rindu yang semakin tak tertahan
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments


Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata
Cerita sebagai pelipur derita
Pada kutipan
Pada sajak
Pada pusi
Namun tak juga kutemukan arti

Aku mencari penuntun jalan
Tentang cara hidup
Cara berdiri
Cara berlari
Namun tersesat dalam kelam

Aku mencari makna
Pada setiap doa
Setiap kerja
Setiap tawa
Setiap duka
Namun hanya berujung hampa

Aku mencari penawar sepi
Pengisi ruang di antara kesibukan yang semu
Dari kawan
Dari saudara
Dari alam
Namun yang ada hanya kesunyian abadi

Aku mencari
Apa yang ku cari
Share
Tweet
Pin
Share
3 comments


Aku begitu melankoli hari ini. Aku memandang kehidupan sebagai sesuatu yang entahlah, akupun tak mampu mendeskripsikannya. Mungkin kadar serotoninku sedang rendah, aku merasa sedikit depresi.
Kehidupan terdiri atas serangkaian kejadian baik, buruk, terdiri dari orang beraneka ragam.
Aku merasa rindu. Rindu dengan masa lalu. Rindu mengetahui semua hal dalam hidup ini. Rindu mengetahui sejarah masa lalu. Rindu dengan kebaikan.
Aku mengutuk orang-orang yang tak punya hati. Memiliki kuasa, pengetahuan, tapi tak menggunakan hati. Sesukanya menindas orang yang lemah.
Aku ingin memiliki peran. Ingin memberi sedikit perubahan dalam kehidupan. Ingin memiliki makna.
(2016)

Aku masih merasa melankoli, tidak ada ubahnya seperti hari yang lalu. Kesedihan masih bergelayut manja di antara hari-hari yang semakin hampa. Kesunyian menjadi temannya. Berdua menari-menari di atas hari yang semakin sepi. Rasa sepi adalah sahabat sejati seorang manusia.
Bukan hanya depresi, tapi rasa cemas, panik, takut, semua berkumpul jadi satu. Untung saja tidak sampai psikotik. Tekanan demi tekanan terus berdatangan membuat sakit muncul menuju permukaan.
Rasa sedih juga muncul tanpa diundang, sedih meratapi keadaan. Sementara keadaan yang selalu diratapi, tak pernah peduli. Dia terus saja berjalan mesra bersama waktu, meninggalkan mereka yang tak suka atau suka padanya. Menyisakan kenangan pahit atau ingatan manis terserah dari yang menanggungnya.
Betapa senangnya menjadi anak kecil yang belum menjadi budak ingatan. Tak ada penyesalan juga keraguan. Dunia seperti tempat bermain tak berkesudahan.
Aku sudah berhenti mengutuk orang lain. Biarlah orang lain punya dunianya sendiri, asal tidak merusak dunia orang lain. Kalau pun sampai merusak, biar saja, toh pada akhirnya semua akan lebur. Sementara aku lebih senang mengutuk diri sendiri. Diri yang tak tahu diri dan hanya mau menang sendiri. Diri yang hanya bisa bermimpi, yang lebih senang tidur di atas tikar daripada bekerja mencari gelar.
Aku sudah berhenti mencari peran atau berusaha merubah dunia. Dunia biarlah seperti apa adanya. Lebih enak menjadi penonton daripada pemeran utama. Penonton bisa menghina, melempar, atau meninggalkan jika dunia tak sesuai hatinya. Dan jika makna adalah sesuatu yang membuat manusia hidup, maka aku sudah lama mati.
(2019)

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia sudah berkali-kali ke tempat ini dengan keluhan yang beragam, mulai dari sakit kepala, mual muntah, nyeri sendi, batuk pilek atau sekadar meriang. Selalu saja sempat bapak itu datang ke sini dan biasanya dia akan duduk lama mengobrol dengan pasien lainnya di ruang tunggu. Kali ini wajah bapak terlihat lebih sedih dari biasanya, mungkin ada beban berat yang tidak bisa ditanggungnya lagi. Karena bapak tersebut merupakan pasien terakhir untuk siang ini maka iseng aku bertanya tentang kehidupan bapak tersebut dan seperti air yang mengalir deras dia menceritakan semua beban hidupnya. Beban sebagai pria Bali di tengah kehidupan dewasa ini.

Bapak memulai ceritanya dengan mengeluh tentang kondisi hidupnya yang ternyata setelah menginjak usia setua ini bukannya pekerjaannya semakin mudah karena ada anak-anak, justru sebaliknya, beban kehidupan masih dia yang menanggung. Bapak selalu membandingkan kondisinya sekarang dengan sewaktu usia dia muda. Bapak lahir di tengah keluarga petani dan masyarakat yang menjalani seluruh kegiatan adatnya dengan tekun. Sejak muda bapak sudah diajak oleh orang tuanya ke sawah untuk menggarap padi atau tanaman lainnya, karena itulah mata pencahariaan mayoritas penduduk pada masa itu. Setiap keluarga memiliki lahan tani yang cukup luas, mereka biasa saling membantu setiap musim tanam dan panen. Dan saling berbagi tiap ada keluarga yang gagal panen. Begitu juga saat ada kegiatan adat di banjar, bapak diajak oleh orang tuanya untuk “ngayah” di pura atau saat ada pernikahan, kematian, metatah, otonan, dan upacara lainnya. Semua aktivitas ini bapak lakukan walaupun terasa melelahkan karena kelak saat dia sudah menikah nanti bapaklah yang akan menggantikan posisi orang tuanya.

Di masyarakat dahulu, kegiatan masyarakat sebagai petani bisa berjalan mengimbangi kegiatan adat agama yang turut berjalan tiada henti. Warga dengan iklas melakukan semuanya, karena persembahan harus dilakukan tanpa pamrih. Mereka hidup dengan sederhana, asal bisa makan itu sudah cukup. Yang penting semua upacara bisa dijalankan. Setelah bapak menikah, selain mengurus keluarganya sendiri, secara otomatis seluruh tanggungjawab adat di masyarakat di tujukan kepadanya juga. Beban orang tua bapak sudah bisa lebih ringan karena ada yang menggantikan setelah puluhan tahun fisiknya terkuras. Dan puluhan tahun pula bapak bekerja keras membanting tulang, menjadi pria Bali yang harus menghidupi keluarga di tengah masyarakat dengan upacara adat yang begitu banyak.

Bapak mencoba meniru bagaimana cara orang tuanya membesarkan bapak dahulu dan berharap suatu saat anaknya sudah dewasa nanti bapak bisa bersantai. Namun semua tidak seperti yang diharapkan bapak. Bapak memiliki dua anak laki-laki yang menurut orang Bali memiliki anak laki adalah berkah bagi keluarga karena kelak mereka yang akan “mengurus” Pura di rumah. Tapi tidak seperti anak-anak jaman dahulu yang bisa diajak bertani, kedua anaknya tidak mau ikut di ajak ke sawah karena mereka malu saat diolok-olok oleh teman sekolah karena dikatakan anak petani. Memang benar, pada masa sekarang bertani sudah susah, bukan hanya karena pendapatan sedikit tapi juga sudah tidak ada yang mau “capek” bertani. Sebagian masyarakat bahkan menjual lahan pertanian mereka pada orang-orang kaya dari kota untuk dijadikan hotel dan villa. Hanya lahan tani bapak yang masih bertahan hingga sekarang. Banyak warga yang sudah beralih ke pariwisata seperti menjadi “gaid”, bekerja di hotel, di kapal pesiar, di bar, di travel atau tempat lainnya yang belakangan ini sedang begitu populernya karena banyak mendapat penghasilan.

Begitu juga dengan kedua anak laki-laki bapak. Yang satu bekerja di Kuta lalu setelah menikah ia bekerja di kapal pesiar, beda lagi dengan adiknya yang sejak lulus SMA sudah bekerja di salah satu restoran di Laut Karibia, entah dimana tempat itu berada bapak tidak tahu, yang bapak tahu setiap bulan jutaan uang akan masuk ke rekening bapaknya dan itu sudah bisa digunakan untuk membenarkan rumah, sanggah, memberi tetangga, bahkan membeli keperluan agar terlihat modern seperti sekarang ini.

Kedua anaknya pergi merantau, kembali menyisakan bapak berdua dengan istrinya. Juga harus mengurus istri anak pertamanya dan anaknya yang masih bayi. Bapak harus membantu mantunya yang masih belum berpengalaman, juga mengempu cucunya. Setelah itu, bapak mesti tetap menggarap lahan pertaniannya yang hampir tiap hari didatangi makelar yang mengincar tanahnya. Juga mengurus semua tetek bengek adat yang tidak bisa ditinggalkan. Di umur bapak yang sudah tidak muda lagi, dengan tenaga yang tidak prima lagi, bapak mesti menanggung beban yang lebih berat ketimbang sebelumnya.

Puncak kesedihan bapak yaitu saat istrinya meninggal karena sakit dan telah “diaben” satu minggu yang lalu, tanpa kehadiran kedua anaknya karena mereka berada di luar negeri bekerja. Rasa sedih dan sepi sangat dirasakan oleh bapak. Memang uang bapak dapatkan berlimpah dari kedua anaknya tapi bukanlah itu yang dia inginkan. Toh dahulu saat mereka tak punya apa mereka bisa hidup sederhana dan bahagia. Yang bapak inginkan hanya bisa berkumpul bersama kedua anaknya, menjalankan semua aktivitas adat bersama, seperti yang dia dan orang tuanya lakukan dahulu.

Tak terasa sudah sejam berlaku, bapak bercerita sambil meneteskan air matanya. Langit sudah semakin merangkak dan sepertinya aku terlalu larut dalam cerita bapak. Aku menyudahi obrolan itu, memberikan resep kepada bapak dan mendoakan semoga diberikan jalan terbaik untuk kehidupan bapak. Aku melihat jam sekali lagi dan terlintas gambaran kedua orang tuaku yang juga sudah mulai menua yang ku tinggal berdua di rumah.
Share
Tweet
Pin
Share
3 comments

Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk “Festival Peduli Lingkungan” dimana terdapat banyak stand-stand yang menjual barang-barang hasil daur ulang, barang-barang yang ramah lingkungan, dan disini juga berkumpul banyak komunitas yang mengatasnamakan dirinya pecinta lingkungan, anti plastik, pelindung lautan, dan lain sebagainya. Dan tentu saja yang menjadi bintang di acara ini ialah plastik. Ia dijadikan kambing hitam atas segala kerusakan alam yang ada di Indonesia khususnya lautannya. Berbagai spanduk, banner, pamflet, selebaran, dengan tulisan yang besar-besar menunjukkan data dan kata bagaimana plastik menghancurkan bumi ini. Yel-yel lantang dibunyikan, seperti “Indonesia adalah penyumbang sampah plastik tertinggi kedua di dunia”. Semua berlomba-lomba menayangkan prestasi Indonesia dalam hal sampah plastik ini.

Lalu aku mencoba mengunjungi salah satu stand yang dikelola oleh salah satu komunitas yang bergerak di bidang sampah. Mereka menjelaskan tentang bagaimana mereka telah melakukan banyak hal seperti membersihkan pantai, membersihkan gunung, sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang sampah, bahkan sampai ke desa-desa. Mereka juga menjual berbagai pernak-pernik barang hasil daur ulang sampah plastik yang dijadikan vas bunga, bingkai foto, tempat sampah, dan lainnya. Salut aku melihat perjuangan mereka yang begitu peduli dengan alam ini. Tapi saat aku hendak berlalu, aku baru menyadari hampir semua dari mereka dengan santainya merokok di sekitaran stand, seperti tidak peduli dengan orang-orang yang menghisap asap rokok tersebut. “Mungkin saja isu tentang sampah plastik jauh lebih penting dari isu rokok”, begitu pikirku.

Saat di perjalanan pulang, aku melihat banyak baliho di pinggir jalan yang menghimbau untuk menggunakan bahan-bahan dari plastik. Di lengkapi dengan tokoh publik yang menjadi ambassador mereka masing-masing. Atau himbauan untuk membawa kantong belanja sendiri apabila belanja ke supermarket, pasar bahkan warung kecil. Ah iya, di daerahku bukan hanya himbauan, tapi menggunakan plastik itu sudah dilarang, dan ada sangsinya bagi yang melanggar. Awalnya ibu-ibu protes, para pedagang protes, produsen plastik juga protes, tapi toh aturan itu tetap berjalan. Lalu berbagai komunitas, tokoh, politisi, muncul mencari panggung seolah merekalah yang paling berperan dalam menangani sampah plastik ini. Mengutuk setiap plastik yang ada padahal di rumahnya mereka masih bergantung dengan plastik dalam setiap kebutuhan.

Aku berpikir, orang-orang sedang sibuk tentang isu sampah plastik. Entah itu karena kegelisahan hatinya sendiri atau sekadar ikut-ikutan tren saja. Padahal plastik sangat berguna dan membantu kehidupan kita sehari-hari. Kita berhutang budi pada plastik yang telah sangat membantu hidup kita, namun setelah sekarang sampah plastik membukit bahkan menggunung, kita mengutuknya. Padahal, kita lah yang tidak bisa membuang sampah plastik itu dengan bijak.

Satu ketika, aku pernah diajak berdiskusi oleh salah satu teman tentang isu pelarangan penggunaan plastik ini. Dia seperti orang yang baru belajar hal baru, dengan berbusa-busa menjelaskan tentang bahaya plastik dan sangat memuji keputusan kepala daerah untuk melarang penggunaan plastik ini. Sementara aku hanya diam saja mendengarkan. Namun dalam hati aku berpikir, daripada melarang penggunaan plastik, lebih baik kita menggalakkan budaya untuk membuang sampah pada tempatnya. Dimulai dari keluarga, sekolah hingga masyarakat. Karena hingga kini masih banyak orang yang tidak sadar untuk menjaga lingkungan dimulai dari diri sendiri dengan hal yang kecil ini. Pemerintah juga nantinya harus memfasilitasi pemilahan dan daur ulang sampah-sampah ini. Tapi biarlah sudah, susah untuk membangun sebuah kebiasaan baru, termasuk mengurangi penggunaan plastik ini. Kami menyudahi diskusi yang tentu saja dimenangi oleh temanku itu. Lalu kami beranjak pergi, aku membuang sampahku sementara dia dengan santai berkata, “Biar saja disana, nanti kan ada pelayan yang membersihkan.”

Mungkin aku terlalu banyak melamun sehingga tidak terasa sudah sampai di rumah. Rumahku begitu sederhana namun disinilah kehangatan keluarga begitu terasa. Begitu juga bau sampah yang berada di sekelilingku. Lebih tepatnya rumahku yang berada di sekeliling sampah. Kedua orang tuaku adalah pemulung, setiap hari mereka mencari sampah plastik, karton, besi atau apa saja yang bisa dijual dari pagi hingga menjelang tengah hari, lalu saat malam hingga menjelang subuh. Dari hasil jualan sampah inilah mereka berhasil menyekolahkan aku hingga kuliah seperti sekarang ini. Sesekali aku sempat membantu mereka “mulung” dan aku merasakan bagaimana beratnya perjuangan hidup mereka.

Apabila plastik sudah benar-benar dilarang penggunaannya, bagaimana nasib kedua orang tuaku nanti dan bagaimana aku bisa melanjutkan kuliahku. Aku hanya bisa memandangi kedua orang tuaku yang kembali bergelut memilah berbagai jenis sampah tersebut, meletakkannya dalam karung, menimbangnya lalu mengumpulkannya dalam satu tempat. Lalu aku mengambil sebuah kertas dan menulis, “Sementara aku sangat ingin seperti plastik yang tidak mudah diurai, tidak mudah hilang bersama waktu. Walaupun sering disalahkan tapi mereka tak sadar seberapa besar kegunaanku bagi hidup mereka.”

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Older Posts

About me

About Me

Saya Wirga Wirgunatha, hanya seorang manusia yang ingin membagikan pemikiran melalui sebuah tulisan. Memiliki ketertarikan terhadap alam dan kehidupan.

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

recent posts

Blog Archive

  • September 2019 (2)
  • Agustus 2019 (9)
  • Mei 2019 (4)
  • April 2019 (15)
  • Maret 2019 (28)
  • Februari 2019 (3)
  • Januari 2019 (3)
  • November 2018 (6)
  • Agustus 2018 (1)
  • Juli 2018 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Januari 2017 (2)
  • Desember 2016 (5)
  • November 2016 (4)
  • Oktober 2016 (2)
  • September 2016 (1)
  • Agustus 2016 (5)
  • Juli 2016 (5)
  • Januari 2016 (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Label Cloud

  • Artikel
  • Buku
  • Cerpen
  • Coretan
  • Puisi

Popular Posts

  • Cinta dan Sampah Plastik
    Hari ini aku baru saja mendengarkan ceramah yang menggebu-gebu dari seorang aktivis kampus. Di kampusku sedang ada ada acara bertajuk ...
  • Puisi - Aku Mencari
    Aku mencari kedamaian dari kumpulan kata Cerita sebagai pelipur derita Pada kutipan Pada sajak Pada pusi Namun tak juga ku...
  • Dengarkanlah - Reza A.A. Wattimena
    Secangkir teh. Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sop...
  • Cerpen - Siklus Waktu
    Aku adalah anak perempuan semata wayang. Hal tersebut membuat kedua orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Waktu berlalu, ...
  • Pria Bali
    Saat itu aku sedang mendengar keluhan seorang bapak yang mungkin usianya menginjak enam puluhan tahun itu. Dari catatan kesehatannya dia...

Quotes

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates